LAPORAN
PENELITIAN ETNOGRAFI
PROSESI
PERKAWINAN DAN TRADISI SELAPANAN
DALAM SISTEM PERKAWINAN MASYARAKAT DESA SEPANJANG KECAMATAN GONDANGLEGI
KABUPATEN MALANG
Dosen Pengampu : Siti
Zurinani, S. Ant, M. A
Oleh :
Luaiyibni Fatimatus Zuhra
135110801111014
ANTROPOLOGI
SOSIAL
FAKULTAS
ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS
BRAWIJAYA
JUNI 2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pernikahan adalah suatu
ikatan yang terjalin antara laki-laki dan perempuan dimana mereka berasal dari
dua keluarga yang berbeda serta diakui, sah dan sesuai dengan tiga ketentuan
dalam pernikahan yaitu berdasarkan ketentuan
hukum negara, hukum agama, dan biasanya
disertai tradisi adat sebagai pelengkap keaabsahan dari pernikahan
tersebut. Sedangkan perkawinan adalah ikatan emosi antara laki-laki dan
perempuan yang sudah menjalani pernikahan dan disahkan sebagai suami istri.
Pengikatan dua keluarga dalam pernikahan ini
juga disebut dengan ikatan besanan dalam
masyarakat jawa. Salah satu fungsi dari pernikahan adalah untuk membentuk sebuah
keluarga baru dan melanjutkan keturunan. Fenomena pernikahan yang menghilangkan
salah satu ketentuan dari tiga ketentuan yang tersebutkan akan dianggap
melenceng dari kebiasaan dalam masyarakat. Contohnya jika ada perkawinan yang
dilakukan dengan ketentuan agama dan tradisi adat saja (sirri) tanpa adanya
pengakuan dari hukum negara maka orang
yang melakukan pernikahan tersebut akan mendapatkan kecaman atau setidaknya
sanksi sosial.
Upacara dan tradisi dalam
perkawinan masyarakat yang heterogen seperti masyarakat Indonesia pastilah
mempunyai perbedaan-perbedaan karena dipengaruhi oleh kebudayaan masing-masing
masyarakat. Menurut T.O Ihromi dalam
bukunya “Pokok-Pokok Antropologi Budaya” menuliskan bahwa kebudayaan merupakan
cara berlaku yang dipelajari dan dimiliki bersama oleh warga kelompok yang
menjadi pendukungnya.
Kebudayaan setiap daerah berbeda-beda karena pola pemikiran masyarakat yang
berbeda-beda pula. Beberapa kebudayaan juga terdiri dari beberapa perbedaan tradisi,
begitu juga perbedaan tradisi dalam perkawinan menyebabkan adanya
keanekaragaman upacara-upacara yang dilakukan sebelum dan saat perkawinan
dilangsungkan atau bahkan upacara yang dilakukan beberapa waktu setelah perkawinan
berlangsung. Seperti perbedaan prosesi perkawinan, ada atau tidaknya mahar
dalam penikahan tersebut, dan acara-acara lain yang berbeda dari masyarakat
lainnya. Kajian ini akan membahas tentang prosesi perkawinan dan tradisi selapanan dalam perkawinan masyarakat
desa Sepanjang kecamatan Gondanglegi kabupaten Malang berdasarkan data yang
diperoleh oleh penulis selama melakukan penelitian.
1.2
RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimanakah prosesi perkawinan dan tradisi
selapanan dalam sistem perkawinan
masyarakat desa sepanjang?
1.3
TUJUAN
1.
Penelitian dilakukan untuk memenuhi
tugas praktik lapangan antropologi.
2.
Laporan disusun untuk memenuhi tugas
akhir ujian semester genap mata kuliah organisasi sosial.
3.
Mengetahui prosesi dan tradisi selapanan dalam sistem perkawinan pada kebudayaan
masyarakat desa Sepanjang.
1.4 MANFAAT
1.
Mengetahui dan mendapatkan pengalaman
tentang bagaimana seharusnya penelitian dan praktik kerja lapangan dalam
antropologi.
2.
Mengetahui beberapa perbedaan
kebudayaan dan tradisi perkawinan yang saya miliki pada masyarakat daerah saya (Situbondo) dengan kebudayaan dan
tradisi perkawinan pada masyarakat daerah Gondanglegi Malang.
BAB II
METODOLOGI PENELITIAN
2.1
PENDEKATAN
Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan etnografi atau penggambaran dan pendeskripsian
kebudayaan tentang tema terkait yaitu tradisi dan sistem perkawinan yang ada
pada masyarakat desa Sepanjang.
2.2
JENIS
PENELITIAN DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Penelitian ini menggunakan jenis
penelitian kualitatif dimana penelitian kualitatif adalah penelitian yang
berlangsung di alam dengan menggunakan beberapa metode yang interaktif dan
humanistik serta interpretasi yang paling mendasar.
Sedangkan menurut Denzin dan Lincoln (1994),
penelitian kualitatif adalah sebuah studi yang menggunakan berbagai macam bahan
empiris. Seperti contohnya studi kasus tentang pengalaman pribadi,
introspektif, cerita hidup, wawancara, observasi, interaksional dan
interpretasi visual yang mengungkapkan/mendeskripsikan tentang sebuah masalah
seorang individu. Penelitian kualitatif dilakukan dengan wawancara secara
mendalam dengan para masyarakatnya dan melakukan observasi untuk membuktikan
kebenaran jawaban-jawaban yang telah dituturkan oleh informan. Observasi ini
juga bisa dilakukan dengan observasi partisipasi dengan ikut melaksanakan hal
yang sama seperti yang dilakukan oleh informan. Misalnya, seorang peneliti yang
meneliti tentang kehidupan petani melakukan observasi pertisipasi dengan
mengikuti informan pergi ke sawah untuk menanam padi.
Observasi yang penulis
lakukan pertama adalah mengamati keadaan masyarakat sekitarnya yang ramah dan
beberapa kali bertemu dengan wanita yang terlihat masih muda menggendong anak
kecil (bayi) yang kemudian diketahui adalah anaknya. Keadaan desa sama seperti
keadaan-keadaan desa pada umumnya yang tidak begitu ramai dan lebih tenang dari
kota. Wawancara juga dilakukan oleh peneliti dengan mewawancarai beberapa
ibu-ibu yang salah satunya adalah seorang perias pengantin dan mengetahui betul
seluk beluk tradisi perkawinan di desa Sepanjang.
2.3
WAKTU DAN
LOKASI PENELITIAN
Penelitian ini
dilakukan di desa Sepanjang yang terdapat beberapa dusun dalam penelitian ini
hanya dibagi kedalam dua dusun yaitu dusun Kasin dan Pidhek Sonokembang kecamatan
Gondanglegi Kabupaten Malang. Lamanya penelitian ialah terhitung kurang lebih delapan
hari sejak kedatangan peneliti pada tanggal 07 Juni 2014 hingga kepulangan
peneliti pada tanggal 14 Juni 2014.
BAB III
GAMBARAN
UMUM DESA
3.1 LOKASI PENELITIAN
Penelitian
ini dilakukan di dusun Pidhek Sonokembang yang merupakan salah satu dusun dari
desa Sepanjang kecamatan Gondanglegi kabupaten Malang. Batas-batas desa
Sepanjang berbatasan langsung dengan desa-desa lainnya yaitu :
Batas
selatan : desa Sawahan
kecamatan Gondanglegi
Batas
timur : desa Unda’an
kecamatan Turen
Batas
barat : desa Rekol kecamatan
Gondanlegi
Batas
utara : desa Putat kecamatan
Gondanglegi
Sedangkan
batas-batas dusun Pidhek Sonokembang berbatasan dengan dengan dusun dan desa
lain yaitu :
Batas
selatan : dusun Trimo
Batas
barat : dusun Kasin
Batas
timur : desa Unda’an
Batas
utara : dusun tanggong
Pidhek Sonokembang merupakan nama yang konon
katanya nama yang mengandung doa. Doa yang terdapat di dalam arti namanya
adalah agar dusun Pidhek Sonokembang akan terus berkembang menjadi lebih baik,
berasal dari kata Pidhek yang
diartikan sebagai tanah yang diinjak, dan Sonokembang
yang berarti terus berkembang dari tahun ke tahun dan
menjadi semakin baik.
Sama
seperti dusun-dusun lain di desa ini, mayoritas penduduk dusun Pidhek
Sonokembang juga merupakan petani dan pembuat batu bata merah, ada beberapa
pula yang menjadi mantan TKI di luar negeri seperti Singapura, Hongkong, dan
Malaysia. Terdapat pula sebuah masjid megah di dusun ini yang masih berada di
tahap perenovasian dan sebuah pesantren yang cukup dikenal masyarakatnya yaitu
“Yayasan Pondok Pesantren Sirojul Ulum Assarqowi” karena sebagian besar
anak-anak kecil di dusun ini belajar mengaji di pesantren yang diasuh oleh pak
Obi (sapaan khas pengasuh pondok pesantren).
Gambar
1 : Seorang warga sedang membuat batu bata merah di samping rumahnya.
Gambar
2 : pembangunan masjid yang masih dalam tahap perenovasian.
Masyarakat
di dusun ini menggunakan sumur untuk MCK (mandi, cuci, kakus) dan menggunakan
pompa air untuk mengalirkan air sumurnya ke kamar mandi dan aliran-aliran lain
yang dibutuhkan. Namun ada pula masyarakat yang masih menggunakan media sungai
untuk mandi dan mencuci namun tidak untuk dikonsumsi dan diminum, beberapa sumber
air juga terdapat di dusun ini dimana air yang mengalir langsung dari tanah ini
memang bersih dan bening serta digunakan untuk mandi, mencuci, dan dikonsumsi.
Sumber air di dusun ini terdapat di RT:4 dan satu lainnya berada di daerah yang
dianggap keramat oleh masyarakatnya yaitu sumber awar-awar dan berada tidak jauh dari sumber air pertama di RT:4. Beberapa
warga mengatakan lebih nyaman mandi di sumber daripada di rumah karena airnya
yang segar dan dapat bertemu dengan tetangga hingga terjadi sebuah kounikasi
keakraban, namun ada beberapa pula warga yang tidak suka karena merasa malu jika
mandi bersama-sama di tempat yang terbuka.
Gambar
3 : sumber air yang digunakan oleh warga untuk keperluan sehari-hari.
Area
persawahan di desa ini memang sangatlah luas, sebagian besar tanaman yang di
tanam adalah tebu, padi, dan beberapa ditanami pohon sengon. Aliran irigasi
yang digunakan untuk persawahan adalah aliran air dari sungai yang dipompa
dengan pompa khusus untuk mengairi sawah dan air hujan. Pembuatan batu bata
merah tidak hannya dilakukan di area rumah saja, ada beberapa tanah di area
persawahan juga dijadikan sebagai area pembuatan batu bata merah karena
tanahnya yang gambut dan mudah untuk diolah.
BAB IV
ANALISIS
DATA
4.1
Perkawinan dan Terbentuknya Sebuah Keluarga
Perkawinan adalah proses awal pembentukan
kelompok rumah tangga, proses penghubungan berbagai kelompok keturunan, dan
reproduksi masyarakat baik berlangsung secara biologis maupun secara
social. Menurut Gough perkawinan adalah
suatu transaksi yang menghasilkan suatu kontrak dimana seorang (pria atau
wanita, korporatif atau individual, atau melalui wakil) memiliki hak secara
terus menerus untuk menggauli seorang wanita secara seksual, hak ini mempunyai
prioritas atas hak untuk menggaui secara seksual yang sedang dimiliki atau
yang kemudian diperoleh orang lain
terhadap wanita tersebut (kecuali yang melalui transaksi semacam), sampai
kontrak transaksi itu berakhir dan wanita yang dianggap bersangkutan dianggap
memenuhi syarat untuk melahirkan anak.
Definisi yang dikemukakan oleh Gough mencangkup perkawinan yang luas, baik itu
perkawinan antara pria dan wanita, perkawinan antara pria dan pria, dan
perkawinan antara wanita dan wanita. Perluasan analisis Gough ini menghubungkan
beberapa variable konvensi budaya dan social dengan pokok-pokok psikologi dan
biologi manusia.
Salah satu tujuan dari perkawinan adalah
membentuk sebuah keluarga dimana menurut J.J. Bachofen tentang teori
keluarganya, di seluruh dunia keluarga manusia terbentuk dan berkembang melalui
empat tingkat evolusi.
Tingkat evolusi pertama adalah promiscuitas
dalam tingkat evolusi pertama ini manusia hidup berkelompok seperti kawanan
binatang yang berkelompok pula dimana ia juga bebas berhubungan seksual secara
bebas dengan siapa saja tanpa adannya ikatan. Tingkat evolusi kedua adalah matriacate, Seiring berjalannya waktu,
manusia sadar akan hubungan wanita dengan anak yang dilahirkannya, anak-anak
ini lebih mempunyai hubungan dekat dengan ibunya namun tidak mengenal ayahnya. Karena
ibulah yang paling mempunyai andil dalam anakya inilah kemudian timbullah
sebuah keluarga inti dimana ibu yang menjadi kepala keluarga, perkawinan antara
ibu dan anak laki-lakipun dihindari dan demikian timbul perkawinan eksogami.
Tingkat evolusi ketiga adalah patriacate,
ketidakpuasan laki-laki dengan keadaan dimana hanya wanita yang mempunyai
hak anaknya menyebabkan para laki-laki inipun mencari pasangan dari kelompok
lain lalu dibawa pada kelompoknya sendiri dan hal ini menyebabkan keturunan
yang kemudian dilahirkan oleh para wanita yang dibawa oleh para lakki-laki
diatas akan tetap berada di pihak ayahnya dan lambat launpun timbullah
kelompok-kelompok keluarga yang menjadikan laki-laki (ayahnya) sebagai kepala
keluarga. Dalam beberapa sebab dan kemudian berganti menjadi perkawinan
endogami.
Tingkat terakhir dalam evolusi keluarga adalah susunan kekerabatan parental,
dimana ayah dan ibu merupakan dua hal terpenting di dalam keluarga inti bagi
keturunan-keturunannya.
4.2 Ketentuan Hukum Perkawinan
Indonesia
Masyarakat Indonesia tergolong
masyarakat heterogen dalam segala aspeknya sehingga terdapat
banyak perbedaan yang signifikan antara hukum-hukum adatnya begitu pula hukum
adat dan tradisis dalam perkawinan. Di Indonesia hukum perkawinan yang otentik
telah diatur dalam UU. No. 1 Tahun 1974. Tambahan dan uraian beberapa masalah
mendasar diuraikan dalam Lembaran Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor
3019. Adanya undang-undang perkawinan nasional ini menampung prinsip-prinsip
dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan
telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat Indonesia.
Asas-asas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam
undang-undang perkawinan ini adalah sebagai berikut :
a.
Tujuan perkawinan adaah membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu pasangan suami isteri perlu saling membantu
dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu
dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil
b.
Dalam undang-undang ini dinyatakan,
bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanyadan kepercayaannya dan disamping itu tiap-tiap perkawinan
harus dicatat menurut peaturan perundang-undangan yang berlaku.
c.
Undang-undang ini menganut azas
monogami.
Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami
dapat beristri lebih dari satu orang dan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi
dengan berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.
d.
Undang-undang ini menganut prinsip
bahwa calon suami isteri harus masak jiwa dan raganya untuk melangsungkan perkawinan
dan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan
perceraian. Untuk itu pula harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami
isteri yang masih di bawah umur. Batas-batas umur minimal perkawinan bagi
laki-laki ialah 19 tahun dan 16 tahun bagi wanita.
e.
Undang-undang ini juga menganut
prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian karena tujuan perkawinan adalah
untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal serta sejahtera. Meskipun
kemungkinan perceraian tetap ada, hal ini harus diperkuat dengan alasa-alasan
tertentu dan harus dilakukan di depan siding pengadilan.
f.
Hak dan kedudukan isteri adalah
seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga
maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu
dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama suami isteri.
Dalam
bab 1 pasal 1 undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan tentang pengertian
perkawinan. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena berdasarkan
pada sila pertama maka, perkawinan mempunyai hubungan yang erat dengan
agama/kerohanian. Perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani saja tapi
unsur batin/rohani juga mempunyai peranan penting.
Beberapa
wanita yang menikah di bawah umur menurut undang-undang yang telah tertera
tentulah melanggar peraturan perundang-undangan. Namun, tidak ada sanksi yang
jelas dan pasti atas pelanggaran ini. Beberapa diantara para wanita yang
menikah muda di desa ini beberapa alasannya dikarenakan hamil di luar
pernikahan dan beberapa diantaranya karena ketidakmampuan ekonomi untuk
melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya sehingga diputuskan oleh orang tuanya
untuk menikahkan anaknya.
“…anak wedhok dek kene iki lek
kawin muda biasane karena hamil duluan nduk, ono mane sing karna gak punya duit
buat ngelanjutin sekolah. Biasane kalau sudah lulus SMP atau SMA iku kawinnya
tapi yo onok sing kawin pas baru lulus SD”.
“ (…anak perempuan disini
yang kawin muda biasanya karena hamil duluan sebelum menikah nak, ada juga
karena tidak adanya biaya untuk melanjutkan sekolah. Biasanya kalau sudah lulus
SMP atau SMA namun ada pula yang kawin setelah lulus SD)”
(wawancara mendalam.mak sum.senin 09/06/2014)
4.3 TRADISI PERKAWINAN
MASYARAKAT DESA SEPANJANG
Tradisi adalah adat atau
kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang dan masih
dilakukan oleh masyarakat pemiliknya hingga saat ini atau anggapan bahwa
cara-cara yang telah ada merupakan hal yang paling baik dan benar untuk
dilakukan. Tradisi merupakan bagian-bagian dari kebudayaan, dalam beberapa
tradisi dalam prosesi perkawinan terdapat beberapa ritual yang menyimbolkan
hal-hal tertentu. Manusia sebagai homo
symbolicum merupakan makhluk yang mempunyai kemampuan untuk meciptakan
simbol-simbol yang kemudian menjadi sebuah gambaran dari kebudayaan, karena
kebudayaan juga termasuk dari hasil ide, bentuk, dan karya manusia begitu pula
dengan tradisi yang mempunyai arti atau simbol.
Berdasarkan
wawancara mendalam yang penulis lakukan selama penelitian, telah terangkum
pemaparan adat dan tradisi perkawinan pada masyarakat desa Sepanjang dari
sebelum acara perkawinan, saat acara, dan sesudah acara. Wawancara mendalam
dilakukan penulis bersama beberapa informan yang diantaranya dilakukan bersama dengan
ibu Sayuti, Emak, mak Sum, mak Siti, dan ibu Suciati.
Berikut adalah profil
singkat informan :
1.
Ibu Sayuti merupakan induk semang
penulis selama penelitian yang adalah seorang ibu rumah tangga yang masih
berumur sekitar 30 tahunan, ia mempunyai satu orang putri berumur 7,5 tahun,
suaminya adalah seorang pegawai Pertamina di pertambangan minyak Pekanbaru
Riau.
2.
Emak disini adalah ibu dari induk
semang penulis selama penelitian (ibu Sayuti). Emak telah berusia lanjut usia dengan
umur sekitar 70 hingga 80 tahun yang mempunyai lima orang anak.
3.
Mak Sum adalah seorang pekerja rumah
tangga yang berumur sekitar 50 tahunan mempunyai dua orang anak. Salah satu
anaknya adalah seorang duda karena bercerai dengan istrinya yang ia nikahi saat
ia berumur masih terlalu muda.
4.
Mak Siti adalah seorang tukang pijat
yang juga mempunyai pekerjaan tambahan sebagai pembantu rumah tangga, mak Siti
mempunyai tiga anak dan beliau juga merupakan mantan TKI di Malaysia selama
satu tahun.
5.
ibu Suciati, seorang wanita paruh baya
berumur sekitar 30 tahunan yang mempunyai sebuah salon dan beliau juga
merupakan seorang perias pengantin dan telah menekuni bidang ini selama kurang
lebih delapan tahun bersama suaminya. Salon ibu suci berada di dusun Pidhek
Sonokembang di RT:8. Dari luar salon sudah terlihat beberapa kebaya pengantin
yang ditempatkan di etalase kaca.
Pemilihan-pemilihan
informan ini dilakukan oleh peneliti berdasakan beberapa pertimbangan,
diantaranya adalah beberapa informan telah melalui tahapan-tahapan perkawinan
dan tahu betul bagaimana penggambaran-penggambaran pasti tentang
tradisi-tradisi perkawinan yang ada di desa Sepanjang. Beberarapa miitos juga
dipaparkan oleh para informan meliputi mitos-mitos tentang perkawinan dan mitos
desa yang kemudian berhubungan dengan jodoh.
Gambar 4 : salon ibu
Suciati di dusun Pidhek Sonokembang RT: 8
Gambar
5 : wawancara bersama Emak dan mak Sum
Adakah hal
yang khusus yang harus dilakukan jika ada seseorang yang melangsungkan
perkawinan terlebih dahulu dan melangkahi saudara tertuanya? Jika ada hal
seperti itu contohnya seorang wanita yang menikah namun melangkahi saudara tertuanya
maka harus ada tradisi si calon pengantin pria harus melamar kakaknya juga,
namun melamar kakaknya ini bukan dalam artian melamar untuk dijadikannya istrinya
pula, namun melamar disini ialah si pengantin pria harus memberikan seserahan
atau bingkisan seperti baju satu setel atau peralatan rias seperti bedak dan
yang lainnya kepada kakak yang dilangkahinya.
4.4 PROSESI PERKAWINAN
Dalam sebuah
acara pastilah terdapat susunan-susunan acara yang dirancang sehingga acara
tersebut dapat berjaan sistematis begitu pula dalam acara perkawinan, dimana
sebelum acara , saat acara, dan sesudah acara terdapat prosesi-prosesi yang
telah tersusun sebagai barikut.
4.4.1 Pertunangan
Pertunangan
merupakan awal dari sebuah perkawinan meski ada beberapa orang yang tidak
melewati proses pertunangan terlebih dahulu untuk melakukan sebuah
perkawinan. Pertunangan dilaksanakan
dengan orang yang telah dijodohkan untuknya. Namun kebanyakan wanita di desa
ini akan menolak jika dijodohkan dan akan lebih memilih pria pilihannya sendiri
sebagai calon suami. Hal yang sama juga dituturkan oleh Emak dan mak Sum yang
dulunya juga menolak untuk dijodohkan dan memilih menikah dengan pria
pilihannya sendiri.
“…yo kebanyakan nggak ghelem lek
dijodohin nduk, la wong emak aja cari sendiri kok. Yo onok sing dijodohin tapi
harus disyarati biar ghelem”
“(… ya
kebanyakan tidak mau dijodohkan nak, emakpun mencari calon suami sendiri, ya
memang ada yang dijodohkan tapi harus disyarati agar mau dijodohkan)”
(wawancara
mendalam.Emak.11.06.2014)
Setelah
lamaran untuk pertunangan selesai hingga si wanita dan si pria resmi
bertunangan, mereka hanya membutuhkan waktu 3-4 bulan untuk kemudian
melangsungkan perkawinan. Dalam beberapa kasus menurut informan ada pula
perjodohan paksaan atau jika sang anak yang dijodohkan tidak mau menerima
perjodohan tersebut maka, si orang tua akan memberi “syarat” atau yang dalam
hal ini berarti si anak akan diberi doa-doa yang bertujuan agar ia luluh
hatinya dan mau menerima perjodohan dengan pria pilihan orang tuanya tersebut.
Biasanya doa-doa ini istilahnya dimasukkan ke dalam makanan dan minuman sang
anak. Tapi, hal ini dapat terjadi dapat pula tidak karena tergantung pada
kepercayaan masyarakat masing-masing. Acara pertunangan bisa dilakukan dengan
saling tukar cincin dan ada pula yang melakukan pertunangan sekaligus
melaksanakan pernikahan sirri.
4.4.2 Pemilihan Bulan Perkawinan
Dalam memilih tanggal dan bulan untuk acara
perkawinan, para masyarakat desa Sepanjang juga mempunyai aturan-aturan tentang
bulan-bulan yang baik dan buruk untuk acara perkawinan. Bulan-bulan yang baik
untuk diadakannya sebuah acara pernikahan adalah bulan setelah perayaan maulid
nabi yaitu pada bulan jumadil awal,
jumadil akhir, rajab, dan ruwah.
Namun jika ingin melaksanakan
upacara perkawinan pada bulan maulid memang tidak dianjurkan tapi diperbolehkan
kecuali orang yang akan melaksanakan perkawinan telah melaksanakan perayaan
maulid nabi. Sedangkan bulan-bulan yang dilarang untuk diadakannya acara
perkawinan adalah bulan puasa, suro, dan
saffar.
Dilarangnya
acara pernikahan pada bulan puasa dikarenakan bulan ini dianggap bulan yang
paling suci oleh umat islam dimana orang-orang muslim wajib berpuasa selama
sebulan penuh. Berbeda dengan bulan puasa yang dianggap suci, acara pernikahan
dilarang dilaksanakan pada bulan suro dan saffar karena bersangkutan dengan mite
Nyi Roro Kidul yang mencari menantu pada bulan-bulan ini. Konon katanya jika
ada seseorang yang melaksanakan upacara perkawinan pada buan-bulan ini akan
mendapatkan bala’ (hal yang buruk) seperti acara pernikahan yang tidak berjalan
dengan lancar, pasangan yang akan cepat bercerai, ketidaklanggengan hubungan
antara suami dan istri, hingga kematian cepat yang dialami salah satu
pasangannya khususnya si pria yang meninggal karena dibawa oleh Nyi Roro Kidul
karena akan dijadikan menantu dan dijodohkan kepada anak-anaknya.
Mite lain
yang dikemukakan oleh informan adalah adanya penjaga desa yaitu “danyang wedhok” yang berwujud macan
putih betina, dimana karena pengaruh danyang
wedhok ini para wanita di desa Sepanjang mudah mendapatkan jodoh hingga banyaknya
wanita yang menikah muda di desa inipun dikaitkan dengan adanya mite danyang wedhok dan mite tentang adanya
setan yang akan mengganggu calon pasangan pengantin yang akan mengadakan sebuah
perkawinan sehingga calon pengantin dilarang meninggalkan rumah dari sejak sebulan
sebelum acara perkawinan diselenggarakan hingga acara perkawinan selesai. Menurut William R Bascom mite adalah cerita prosa rakyat yang
dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite
ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa dan kejadian ini terjadi terjadi
di dunia lain atau di dunia yang yang bukan seperti dunia yang dikenal oleh
manusia dan terjadi pada masa lampau.
4.4.3 Acara Sebelum Hari H
Setelah waktu
pelaksaan ditentukan, acara demi acarapun akan mulai dipersiapkan untuk
terselenggaranya sebuah perkawinan. Satu atau dua hari sebelum hari H biasanya
diadakan acara pengajian, hataman Al-Quran, dan selametan. Acara dihadiri oleh sanak famili dan tetangga
yang bhiodo. Bhiodo adalah istilah
untuk membantu tetangga yang mengadakan hajatan perkawinan, biasanya hal ini
dilakukan dengan membantu memasak di dapur atau membantu keperluan-keperuan
lain yang berhubungan dengan upacara perkawinan. Pada saat bhiodo, para tetangga dan sanak saudara yang datang akan membawa
beberapa kebutuhan pokok seperti beras, gula, dan sebagainya yang kemudian akan
dicatat ke dalam buku besar, barang-barang ini disebut “tumpangan”.
Dilanjutkan
dengan acara siraman yang dilakukan satu hari sebelum hari H di kediaman
pengantin perempuan, pengantin perempuan memakai kemben dan rangkaian melati
yang dipakai menutupi dada dan bahu, acara ini bertujuan ntuk menyucikan
pengantin perempuan dari pengaruh buruk dan gangguan-gangguan yang akan datang
setelah melakukan perkawinan dan membentuk sebuah keluarga.
4.4.4 Acara Perkawinan
Pada pagi
hari di hari H akan dilangsungkan akad nikah dimana pengantin pria dan wanita
disandingkan di depan penghulu guna melangsungkan akad nikah dengan didampingi wali dari pihak pengantin wanita
dan beberapa saksi. Di dalam akad nikah ini diberikan mahar-mahar bagi
pengantin wanita, biasanya mahar berupa uang, emas, dan seperangkat alat ibadah
atau barang yang dianggap berharga lainnya.
Pada sore
harinya akan diadakan sebuah resepsi pernikahan dimana tradisi dari awal acara
adalah temu manten di pintu gerbang
masuk tempat acara, pengantin pria dan wanita akan dipertemukan lalu saling menaburkan beras kuning (tradisi
nyawur) dimana beras ditaburkan oleh pengantin kepada pasangannya. Taburan
beras ini dilakukan dengan system siapa cepat karena arti dari tabur beras
kuning ini adalah penampilan dari setiap pasangannya atau penampilan siapakah
yang akan terlihat lebih tua jika terkena taburan beras lebih dahulu, contohnya
saat acara melempar beras, pengantin laki-laki lebih dulu melempar beras
mengenai pengantin wanita maka seiring waktu penampilan si wanita yang telah
menjadi istri ini akan terlihat lebih tua daripada si laki-laki yang telah
menjadi suaminya bagitu juga sebaliknya jika pengantin pria yang terkena
lemparan beras kuning terlebih dahulu. Dilanjutkan dengan upacara injak telur
oleh pengantin pria dan kaki pengantin pria kemudian dibasuh oleh pengantin wanita
yang menandakan seorang istri harus patuh pada suami karena setelah menjadi
seorang istri, surga seorang istri adalah di bawah telapak kaki suami.
Acara selanjutnya
adalah kedua pengantin diarak oleh orang tua menuju pelaminan dengan
menggendong kedua pengantin menggunakan selendang panjang, gendong ini dalam
artian bukan digendong dipungggung melainkan hanya menyelendangi keduanya lalu
ujung-ujung dari selendang ditarik oleh orang tua untuk digiring berjalan
menuju pelaminan. Orang tua yang menggendong biasanya adalah orang tua
laki-laki dari pihak pengantin perempuan karena kebanyakan pihak pengantin
laki-laki lah yang mendatangi rumah pihak perempuan. Hal ini menandakan tugas
orang tua yang telah selesai dalam mendidik anaknya hingga bisa membangun rumah
tangga sendiri.
Sampai di
pelaminan, pengantin akan melangsungkan acara sungkeman kepada orang tua dengan
artian meminta doa dan restu dari orang tua atas pernikahan dan hidup baru yang
akan dijalani,acara sungkeman juga diartikan sebagai permohonan maaf dan rasa terimakasih
sang anak atas kasih sayang dan pendidikan orang tua kepadanya sejak lahir
hingga dapat menikah dan sanggup membangun keluarga sendiri.
Setelah acara sungkeman selesai, acara
dilanjutkan dengan rebutan uang logam di dalam wadah berisi uang logam dan
beras kuning. Uang receh yang didapat oleh pengantin saat saling berebutan ini menandakan
rejeki yang akan didapat saat membangun keluarga nantinya. Jika pengantin pria
yang mendapatkan nominal uang paling banyak maka si pria sebagai suami rejekinya
akan lebih banyak daripada rejeki si wanita sebagai istri, begitu juga
sebaliknya jika si wanita sebagai istri mendapatkan nominal uang paling banyak
maka rejeki yang didapat oleh si istri akan lebih banyak daripada si suami. Menurut ibu suci acara rebutan uang logam
dinamakan “bhubha’an” yang hanya dilakukan oleh anak pertama. Namun bhuba’an
juga bisa dilakukan oleh anak ketiga (ragil) yang menikah dengan anak pertama
dari keluarga yang berbeda. Contohnya pengantin perempuan adalah anak ketiga di
keluarganya tapi pengantin pria merupakan anak pertama dari saudara-saudaranya
maka bhuba’an dapat dilakukan. Setelah itu barulah acara foto-foto bersama
sanak saudara dan para undangan. Pada saat hari H inilah para tetangga membawa
uang yang diamplopkan dan dianggap sebagai sumbangan untuk pengantin baru, hal
ini diistilahkan sebagai “bhowo”.
4.5
TRADISI SELAPANAN
Tradisi selapanan adalah tradisi pelarangan
pertemuan orang tua dengan anaknya setelah acara perkawinan. Tradisi ini
diwariskan secara turun temurun pada masyarakat desa Sepanjang sejak dahulu
kala dan telah menjadi kebudayaan yang melekat dan serta menjadi folklore mereka yang mempunyai kesamaan
dengan tradisi masyarakat lain yang juga mempunyai tradisi melarang pertemuan
besan namun tradisi selapanan mempunyai
versinya sendiri. Folklore adalah
sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun
diantara kolektif macam apa saja, Secara tradisional dalam versi yang berbeda
baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak isyarat atau alat
pembantu pengingat (mnemonie device).
Umumnya acara
pernikahan diadakan dengan kehadiran dari orang tua kedua belah pihak (orang
tua pengantin perempuan dan orang tua pengantin laki-laki) atau yang biasanya
disebut dengan “besan”. Namun berbeda dengan tradisi pada masyarakat desa
Sepanjang dimana Pihak besan dilarang mengunjungi anaknya selama 36 (tiga puluh
enam) hari sejak diadakannya acara perkawinan, jikakalaupun ada tradisi yang juga
melarang pihak besan bertemu dengan anaknya pada saat acara perkawinan, namun
hal itu tidak dibataskan pada 36 (tiga puluh enam) hari, melainkan hanya
beberapa hari saja semenjak acara perkawinan. Contohnya adalah jika acara perkawinan
dilakukan oleh pihak pengantin laki-laki maka orang tua dari pihak perempuan
dilarang datang ke acara pernikahan ini dan orang tua dari pihak perempuan baru
boleh menemui anaknya setelah tiga puluh enam hari setelah acara pernikahan
begitu pula sebaliknya jika acara dilaksanakan oleh pihak dari pengantin
perempuan maka orang tua dari pihak laki-laki tidak boleh hadir pada saat acara
pernikahan dan boleh menemui anaknya setelah lewat tiga puluh enam hari sejak
acara pernikahan berlangsung. Tradisi inilah yang kemudian disebut tradisi “selapanan” namun jika acara dilaksanakan
di gedung misalnya yang acaranya merupakan hasil dari pengumpulan dana dari dua
keluarga maka kedua besan boleh ikut dalam satu acara.
Tradisi ini dimungkinkan
ada karena kedudukan besan yang mampu mengadakan acara perkawinan untuk anaknya
akan lebih disegani daripada besan yang tidak melangsungkan acara. Mampu dalam
hal ini sebenarnya memang bukan karena adanya ketidakmampuan ekonomi dari pihak
besan itu sendiri melainkan karena adanya kesepakatan sebelumnya diantara besan
manakah yang akan mengadakan acara. Misalnya hasil dari kesepakatan antara
besan adalah orang tua pengantin laki-laki yang akan mengadakan acara, maka
orang tua dari pihak perempuanlah yang akan menjalani tradisi selapanan begitu pula sebaliknya. karena
hanya hanya salah satu pihak orang tua pengantin saja yang boleh hadir dalam
acara perkawinan maka pada acara sungkeman
hanya diperuntukkan bagi orang tua pengantin yang mengadakan acara perkawinan
saja karena pihak besan dilarang datang ke acara pernikahan. Pihak besan boleh
menemui anak mereka setelah 36 hari sejak acara pernikahan dilaksanakan. Setelah
36 hari menjalani tradisi “selapanan” dimana pihak besan tidak boleh menemui
anaknya, akan ada tradisi “ketemuan besan” yang dinamakan “pethu’an”. Pada hari inilah pihak besan dari dua keluarga saling
bertemu dan pihak besan yang menjalani selapanan
bisa bertemu dengan anaknya kembali.
4.6 POLA TEMPAT TINGGAL
Pola tempat
tinggal setelah pernikahan biasanya ditentukan dengan persetujuan keduanya. Dan
tergantung keputusan pasangan pengantin, bisa tinggal di rumah orang tua
laki-laki atau juga bisa tinggal di rumah orang tua si perempuan. Jika suatu
saat mereka membangun rumah sendiri, kebanyakan akan membangun rumah tidak jauh
dari orang tua mereka, contohnya saat menikah ibu Sayuti dan suaminya tinggal
di rumah emak yang merupakan orang tua ibu Sayuti, namun beberapa tahun setelah
itu ibu Sayuti sanggup membangun rumah sendiri bersama suaminya yang terletak
hanya dua puluh meter dari rumah emak. Ada pula pola tempat tinggal dimana
dalam satu halaman terdapat lebih dari satu rumah yang berdempetan. Biasanya
rumah yang saling berdempetan ini dihuni oleh keluarga yang berasal dari satu
garis keturunan yang sama. Dalam tradisi orang Madura, hal ini dinamakan “tanian lanjeng” yang artinya halaman
yang panjang. Ada pula beberapa pola rumah yang sama seperti “tanian lanjeng” di Madura ini di desa Sepanjang namun hanya
beberapa saja karena beberapa rumah keluarga dengan satu keturunan memang
terletak berdekatan namun dibatasi oleh pagar atau tanaman.
.
BAB V
KESIMPULAN
Kebudayaan
berasal dari kata cultuur (bahasa
Belanda), culture (bahasa inggris), colore (bahasa latin), yang berarti
mengolah, mengerjakan, menyuburkan, dan mengembangkan, arti dari kata-kata ini
kemudian dikembangkan menjadi arti yang lebih luas yaitu “segala daya dan
aktifitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam”. Menurut Edward B.
Taylor, Kebudayaan adalah keseluruhan yang
kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,
hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang
sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan
yang ada merupakan hasil pemikiran manusia dan dibuat oleh manusia sebagagai homo sapiens (makhluk yang bijak karena
berpikir).
Manusia ini hidup berkelompok-kelompok
membentuk sebuah masyarakat yang terdiri atas kelompok manusia pemilik
kebudayaan yang telah diciptakannya. Menurut Maclver dan Page masyarakat adalah
suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara dari wewenang dan kerja sama antara
berbagai kelompok dan penggolongan dan pengawasan tingkah laku serta
kebebasan-kebebasan manusia.
Dari kebudayaan yang diciptakan oleh manusia inilah kemudian berlaku sebuah
tradisi-tradisi yang ada di dalam masyarakat. Tradisi suatu daerah memang
selalu terdapat perbedaan karena manusia pembuat kebudayaannyapun berbeda. Tradisi-tradisi
ini diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang dan masih terus dilaksanaakan hingga saat ini
karena dianggap sesuatu yang paling benar untuk dilakukan. Salah satu tradisi
yang tercipta adalah tradisi perkawinan manusia seperi tradisi selapanan.
Perkawinan
merupakan hal yang sakral
dan telah diatur dalam perundang-undangan nasional Indonesia yang
aturan-aturannya harus ditaati dan dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia.
Berbagai macam tradisi perkawinan juga merupakan sebuah wujud dari kebudayaan
yang diciptakan masyarakat dari hasil pemikirannya seperti contohnya adalah
tradisi selapanan. Salah satu tujuan
dari perkawinan adalah membentuk keluarga baru dan melanjutkan keturunan. Perbedaan
tradisi perkawinan yang ada pada masyarakat desa Sepanjang merupakan salah bentuk
dari keanekaragaman kebudayaan yang telah diciptakan oleh manusia.
Kehidupan
yang dijalani setelah perkawinan adalah gerbang baru yang akan dimulai bersama
seorang pasangan yang telah dipilih menjadi bagian dari kehidupan orang
tersebut dan kehidupan menuju kematangan secara psikologis. Ada atau tidaknya
perselisihan dalam rumah tangga yang telah dibangun dengan sebuah ikatan
perkawinan sehingga terjadi sebuah perceraian diantara keduanya merupakan hal
yang dianggap wajar dalam masyarakat karena siklus hidup manusia yang selalu
berubah. Seyogiyanya pasangan yang telah menikah harus dapat berberkomunikasi
dengan baik agar terhindar dari sebuah perceraian.
DAFTAR PUSTAKA
·
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
·
Ihromi.TO.1986.Pokok-Pokok Antropologi Budaya.Jakarta:PT Gramedia.
·
Artikel yang ditulis oleh Professor
Dr. Andreas Budihardjo “SOME IMPORTANT
NOTES ON QUALITATIVE RESEARCH” Agustus , 2013.
·
Keesing.M Roger.1981.CULTURAL ANTHROPOLOGY A Contemporary perspective,
Second Edition.Australia:CBS College publishing.
·
Koentjaraningrat.2009.Sejarah Teori Antropologi Klasik I.Jakarta:UI
Press.
·
Sudarsono.1991. Hukum Perkawinan Nasional.Jakarta:PT RINEKA CIPTA.
·
Danandjaja.James.2002.FOLKLORE INDONESIA iIlmu gosip, Dongeng, dan
Lain-lain.Jakarta: PT Temprint.
·
Haryanto.Dany dan Nugrohadi.G.Edwi.2011.
Pengantar Sosiologi Dasar.Jakarta:PT
Pustakaraya.
Rossman dan Rallis (2003) dalam artikel yang
ditulis oleh Professor Dr. Andreas Budihardjo “SOME IMPORTANT NOTES ON QUALITATIVE RESEARCH” Agustus , 2013.
Denzin dan Lincoln (1994) dalam artikel yang
ditulis oleh Professor Dr. Andreas Budihardjo “SOME IMPORTANT NOTES ON QUALITATIVE RESEARCH” Agustus , 2013.