Rabu, 26 November 2014

“Review” SALAH SATU TULISAN DALAM BUKU PERMAINAN TAFSIR (POLITIK MAKNA DI JALAN PADA PENGHUJUNG ORDE BARU) SIASAT DAN KUASA DI JALAN RAYA Karangan Gunawan


 “Review”  SALAH SATU TULISAN DALAM BUKU PERMAINAN TAFSIR

(POLITIK MAKNA DI JALAN PADA PENGHUJUNG ORDE BARU)
SIASAT DAN KUASA DI JALAN RAYA

Karangan Gunawan


Jalan raya menjadi identitas kualitas sebuah kota karena jika jalan rayanya baik maka kota itu baik maka kota tersebut akan dianggap berkualitas sehingga alat transportasi dapat berjalan lancar tanpa hambatan. Keberadaan jalan raya menjadi tolak ukur maju atau tidaknya sebuah kota, bisa dibayangkan jika sebuah kota tidak mempunyai jalan dengan kualitas baik misalnya banyaknya jalan berlubang yang mengakibatkan banyak kecelakaan apakah bisa disebut dengan kota yang maju? Tentu tidak bukan. Dahulu jalan raya yang awalnya hanya menjadi penghubung antara daerah satu dengan yang lainnya maka tidak dengan hari ini dimana jalan raya menjadi kompleks dengan menjadi tempat mencari uang dan bertahan hidup bagi mereka yang terpinggirkan karena lahan-lahan kehidupan yang semakin sempit serta bertambahnya para pekerja dan buruh dari luar daerah.
***
Jalan raya menjadi tempat untuk berinteraksi dengan banyak orang seperti pengemis, pengamen, polisi, pengendara motor dan mobil, pedagang asongan dan banyak lagi yang lainnya. Interaksi ini menggunakan bahasa yang bergam, mulai dari bahasa para kernet bis dengan kernet lainnya, bahasa pedagang asongan dengan rekannya, sampai bahasa para banci pinggir jalan dengan banci lainnya.  
Bahasa yang digunakan di jalan raya dpat dibedakan menjadi dua. Pertama, bentuk aturan tertulis yang berwujud rambu-rambu lalu lintas, traffict light, marka jalan dan sebagainya. Bahasa ini mempunyai kekuatan yang cukup untuk memaksa pemakai jalan tunduk mematuhinya karena akan ada denda-denda yang diperuntukkan bagi orang-orang yang melanggar rambu-rambu ini seperti penilangan misalnya.  Bahasa yang kedua adalah bahasa gerak tubuh seperti lambaian tangan dan gerakan kepala contohnya polisi lalu lintas yang mengatur jalan di perempatan kota yang macet. Bahasa ini bersifat terbuka dan bermakna bebas berdasarkan interaksi tertentu.  Aturan lalu lintas dibuat untuk menertibkan suasana jalan raya yang semrawut dan untuk mengurangi tingkat kecelakaan di jalan raya. Saya setuju dengan argumen penulis bahwa orang-orang kebanyakan mematuhi aturan lalu lintas bukan karena khawatir akan keselamatan mereka atau takut akan kesemrawutan jalan raya yang diakibatkan oleh terganggunya sistem perlalulintasan terganggu tapi lebih kepada rasa takut mereka kepada polisi dan ketidakinginan mereka untuk didenda atas pelanggaran rambu-rambu lalu lintas tersebut.
Denda ini biasanya berupa teguran, penilangan, membayar denda di bank atau “dititipkan”, hingga berurusan ke pengadilan namun hampir seluruh masyarakat memilih jalan membayar uang denda meskipun kadang nominalnya tidak sesuai dengan daftar denda karena mereka memilih jalan yang tidak ruwet dan lebih cepat sehingga surat ijin mengemudi (SIM) yang disita segera dikembalikan dan si pelanggar tidak perlu diberi surat pelanggaran apapun. Besarnya denda yang dibayarkan menjadi alat pemaksa bagi para pengguna jalan agar undang undang lalulintas No. 14 Tahun 1992 dipatuhi. Penulis berargumen bahwa kedisiplinan dan ketertiban di jalan raya menjadi sebuah dongeng  yang dijadikan legitimasi pemerintah untuk dapat menarik uang dari pengguna jalan lewat denda yang diberlakukan. Mekanisme operasi lalu lintas yang diberlakukan sebenarnya menunjukkan bahwa rapuhnya ketertiban di jalan dilandasi oleh ketakutan untuk terlibat dalam pertukaran uang.
Kesemrawutan dan ketidaknyamanan jalan raya  yang terjadi sebenarnya juga disebabkan oleh pengguna jalan itu sendiri yang saling berebut kepentingan masing-masing individu. Pengendara sepeda motor dan mobil saling berebut jalan karena terburu-buru, sopir angkot berhenti berlama-lama di sudut jalan tertentu menunggu penumpang sampai angkotnya setidaknya terisi setengahnya, pedagang asongan berlalu lalang mencari pembeli, dan warung-warung pinggir jalan yang menambah semrawutnya jalan raya.
Ruas-ruas jalan tertentu bahkan menjadi lahan-lahan kekuasaan seseorang untuk mencari keuntungan seperti tukang parkir yang menguasai sebuah lahan seperti pusat pertokoan dan taman-taman kota, para jukir (juru parkir) ini saling berebut agar orang-orang memarkirkan kendaraan di lahan kekuasaannya. Hal ini terjadi karena ada sebuah anggapan bahwa jalan raya merupakan ruang publik yang tak bertuan sehingga siapa saja boleh memanfaatkannya sehingga yang terjadi malah saling berebutnya orang-orang akan sebuah lahan usaha bahkan hingga adanya usaha tipu menipu hingga adu kekuatan.
Dalam tulisannya penulis menyebutkan ada sebuah kesemrawutan yang enak dipandang dimana saat ada konvoi partai pada tahun 1997 contohnya dimana konvoi ini mengundang banyak mata untuk tertarik menontonnya, hingar bingar kendaraan berknalpot bersuara keras dan pakaian serta atribut  yang mencolok menyimbolkan partai yang diikuti dan dengan mengikuti konvoi ini para pengendara bisa bebas melakukan hal yang pada hari-hari biasanya tidak dapat dilakukan seperti menggunakan sepeda motor yang dimodifikasi knalpotnya, tidak menggunakan helm, hingga menerobos lampu lalu lintas. Penulis berargumen bahwa kesemrawutan yang terjadi meskipun menjadi terhambatnya lalu lintas namun pada sisi lain merupakan hiburan yang enak untuk ditonton dan menjadikan konvoi ini sebagai ajang kreativitas pesertanya dengan menghilangkan kejenuhan sehari-hari sehingga kesemrawutan seperti ini bukanlah hal yang perlu diperdulikan sehingga kepatuhan tidak menjadi ukuran. Namun bagi saya hal seperti itu bukanlah sesuatu yang enak dilihat karena konvoi seperti itu akan mengganggu pengguna jalan lain yang terburu-buru dan mengganggu ketenangan karena kebisingannya, hal ini pernah saya rasakan ketika ada konvoi silaturrahmi para pendukung AREMA CRONOUS (kesebelasan sepak bola Malang) yang menurut saya sangat mengganggu ketertiban jalan raya, membuat kemacetan sehingga untuk melajukan sepeda motor saja seperti mengendarai siput, terompet-terompet yang memekakkan telinga, musik-musik yang berdentuman sepanjang jalan dan kibaran-kibaran bendera bergambar singa menghalangi pandangan. Saat konvoi ini terjadi terlihat banyak orang yang mengikutinya dengan mengenakan beragam atribut AREMA sambil bersorak-sorak dengan mengendarai sepeda motor membonceng satu hingga dua orang dan tidak menggunakan helm, mobil bak terbuka dengan sound system besar di dalamnya dan di atas sound tersebut berdiri beberapa pria dan wanita berpakaian minim mengenakan kacamata, hingga truk besar pengangkut pasir berisi banyak orang yang juga bersorak-sorak menyanyikan mars AREMA sambil membunyikan terompet kecil berwarna merah namun bersuara sangat keras.  Konvoi ini mungkin memang menjadi tontonan menarik namun tetap saja hal ini harus tetap diperdulikan karena konvoi tidak hanya bisa mengganggu ketertiban umum saja namun juga bisa menyebabkan sebuah kecelakaan. Polisi dalam keadaan seperti ini seakan kehilangan pengaruhnya, rambu lalu lintas semakin kehilangan kekuatannya, dan pengguna jalan lain semakin terhimpit atas sebuah kepentingan kelompok tertentu dan bagi saya hal ini sama sekali tidak enak dilihat.

 Foto ini diambil saat konvoi AREMA pada 11 agustus 2014: terlihat seorang laki-laki yang membonceng dua anak kecil tanpa pengaman, disampingnya terlihat pemuda-pemuda peserta konvoi yang tidak menggunakan helm.











 Jalan raya tidak hanya menjadi tempat mencari uang dengan kontak langsung dengan penjual dan pembeli namun jalan raya juga menjual citra dengan banyaknya reklame-reklame dan spanduk-spanduk yang bertebaran menawarkan produk-produk, berisi anjuran, dan publikasi semata. Bentuk visual dari gambar-gambar yang ditampilkan menjadi salah satu bentuk representasi kapitalisme pemerintah, salah satu contohnya adalah anjuran keluarga berencana (KB).
Papan-papan reklame atau spanduk-spanduk biasanya terpampang di tempat strategis dan  ramai dengan gambar-gambar yang mampu menarik mata untuk menoleh dan memperhatikan meski sejenak sehingga visualisasi dari gambar-gabar tersebut mampu membuat  pikiran manusia memprosesnya hingga dikuasai dan setiap individu yang melihatna tidak mempunyai kehendak membentuk citra-citra tertentu.  Gambar dalam spanduk dan reklame tersebut mampu menghadirkan sesuatu yang bahkan tidak ada di tempat tersebut contohnya saya melihat reklame di pinggir jalan Soekarno Hatta Malang bertuliskan “Sunrise Bromo” bergambang seorang nenek tua mengenakan penutup kepala dari kain kaos dan menyampirkan sarung di bahunya dan dibelakangnya ada gambar gunung bromo yang nyatanya terletak di kabupaten probolinggo dan bukan di kota Malang.

Jalan kini menjadi semarak dengan beragam fungsinya yang awalnya hanya sebagai sarana penghubung sebuah daerah, jalan menjadi sebuah identitas kemapanan sebiah kota, jalan menjadi tempat mencari nafkah, jalan menjadi tempat memuat banyak visualisasi kehidupan, halan menjadi tempat untuk saling menggulingkan, jalan menjadi wilayah untuk menunjukkan siapa yang paling kuat dan siapa yang paling tidak punya kekuatan seakan-akan manusia masuk ke dalam hutan yang berlaku hukum rimba bahwa siapa yang paling kuat dialah yang mampu bertahan hidup. 

Selasa, 04 November 2014

PROSESI PERKAWINAN DAN TRADISI SELAPANAN DALAM SISTEM PERKAWINAN MASYARAKAT DESA SEPANJANG KECAMATAN GONDANGLEGI KABUPATEN


LAPORAN PENELITIAN ETNOGRAFI
PROSESI PERKAWINAN DAN TRADISI SELAPANAN DALAM SISTEM PERKAWINAN MASYARAKAT DESA SEPANJANG KECAMATAN GONDANGLEGI KABUPATEN MALANG


Dosen Pengampu : Siti Zurinani, S. Ant, M. A
Oleh :
Luaiyibni Fatimatus Zuhra
135110801111014


ANTROPOLOGI SOSIAL
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA


JUNI 2014


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG
Pernikahan adalah suatu ikatan yang terjalin antara laki-laki dan perempuan dimana mereka berasal dari dua keluarga yang berbeda serta diakui, sah dan sesuai dengan tiga ketentuan dalam pernikahan yaitu berdasarkan ketentuan  hukum negara, hukum agama, dan biasanya  disertai  tradisi adat  sebagai pelengkap keaabsahan dari pernikahan tersebut. Sedangkan perkawinan adalah ikatan emosi antara laki-laki dan perempuan yang sudah menjalani pernikahan dan disahkan sebagai suami istri.[1]
 Pengikatan dua keluarga dalam pernikahan ini juga  disebut dengan ikatan besanan dalam masyarakat jawa. Salah satu fungsi dari pernikahan adalah untuk membentuk sebuah keluarga baru dan melanjutkan keturunan. Fenomena pernikahan yang menghilangkan salah satu ketentuan dari tiga ketentuan yang tersebutkan akan dianggap melenceng dari kebiasaan dalam masyarakat. Contohnya jika ada perkawinan yang dilakukan dengan ketentuan agama dan tradisi adat saja (sirri) tanpa adanya pengakuan dari hukum  negara maka orang yang melakukan pernikahan tersebut akan mendapatkan kecaman atau setidaknya sanksi sosial.
Upacara dan tradisi dalam perkawinan masyarakat yang heterogen seperti masyarakat Indonesia pastilah mempunyai perbedaan-perbedaan karena dipengaruhi oleh kebudayaan masing-masing masyarakat.  Menurut T.O Ihromi dalam bukunya “Pokok-Pokok Antropologi Budaya” menuliskan bahwa kebudayaan merupakan cara berlaku yang dipelajari dan dimiliki bersama oleh warga kelompok yang menjadi pendukungnya.[2] Kebudayaan setiap daerah berbeda-beda karena pola pemikiran masyarakat yang berbeda-beda pula. Beberapa kebudayaan juga terdiri dari beberapa perbedaan tradisi, begitu juga perbedaan tradisi dalam perkawinan menyebabkan adanya keanekaragaman upacara-upacara yang dilakukan sebelum dan saat perkawinan dilangsungkan atau bahkan upacara yang dilakukan beberapa waktu setelah perkawinan berlangsung. Seperti perbedaan prosesi perkawinan, ada atau tidaknya mahar dalam penikahan tersebut, dan acara-acara lain yang berbeda dari masyarakat lainnya. Kajian ini akan membahas tentang prosesi perkawinan dan tradisi selapanan dalam perkawinan masyarakat desa Sepanjang kecamatan Gondanglegi kabupaten Malang berdasarkan data yang diperoleh oleh penulis selama melakukan penelitian.
1.2  RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimanakah prosesi perkawinan dan tradisi selapanan dalam sistem perkawinan masyarakat desa sepanjang?
1.3  TUJUAN
1.      Penelitian dilakukan untuk memenuhi tugas praktik lapangan antropologi.
2.      Laporan disusun untuk memenuhi tugas akhir ujian semester genap mata kuliah organisasi sosial.
3.      Mengetahui prosesi dan tradisi selapanan dalam sistem perkawinan pada kebudayaan masyarakat desa Sepanjang.
1.4  MANFAAT
1.    Mengetahui dan mendapatkan pengalaman tentang bagaimana seharusnya penelitian dan praktik kerja lapangan dalam antropologi.
2.    Mengetahui beberapa perbedaan kebudayaan dan tradisi perkawinan yang saya miliki pada masyarakat  daerah saya (Situbondo) dengan kebudayaan dan tradisi perkawinan pada masyarakat daerah Gondanglegi Malang.


BAB II
METODOLOGI PENELITIAN
2.1          PENDEKATAN
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan etnografi atau penggambaran dan pendeskripsian kebudayaan tentang tema terkait yaitu tradisi dan sistem perkawinan yang ada pada masyarakat desa Sepanjang.

2.2          JENIS PENELITIAN DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA
      Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dimana penelitian kualitatif adalah penelitian yang berlangsung di alam dengan menggunakan beberapa metode yang interaktif dan humanistik serta interpretasi yang paling mendasar[3]. Sedangkan menurut Denzin dan Lincoln (1994)[4], penelitian kualitatif adalah sebuah studi yang menggunakan berbagai macam bahan empiris. Seperti contohnya studi kasus tentang pengalaman pribadi, introspektif, cerita hidup, wawancara, observasi, interaksional dan interpretasi visual yang mengungkapkan/mendeskripsikan tentang sebuah masalah seorang individu. Penelitian kualitatif dilakukan dengan wawancara secara mendalam dengan para masyarakatnya dan melakukan observasi untuk membuktikan kebenaran jawaban-jawaban yang telah dituturkan oleh informan. Observasi ini juga bisa dilakukan dengan observasi partisipasi dengan ikut melaksanakan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh informan. Misalnya, seorang peneliti yang meneliti tentang kehidupan petani melakukan observasi pertisipasi dengan mengikuti informan pergi ke sawah untuk menanam padi.
Observasi yang penulis lakukan pertama adalah mengamati keadaan masyarakat sekitarnya yang ramah dan beberapa kali bertemu dengan wanita yang terlihat masih muda menggendong anak kecil (bayi) yang kemudian diketahui adalah anaknya. Keadaan desa sama seperti keadaan-keadaan desa pada umumnya yang tidak begitu ramai dan lebih tenang dari kota. Wawancara juga dilakukan oleh peneliti dengan mewawancarai beberapa ibu-ibu yang salah satunya adalah seorang perias pengantin dan mengetahui betul seluk beluk tradisi perkawinan di desa Sepanjang.

2.3          WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN
     Penelitian ini dilakukan di desa Sepanjang yang terdapat beberapa dusun dalam penelitian ini hanya dibagi kedalam dua dusun yaitu dusun Kasin dan Pidhek Sonokembang kecamatan Gondanglegi Kabupaten Malang. Lamanya penelitian ialah terhitung kurang lebih delapan hari sejak kedatangan peneliti pada tanggal 07 Juni 2014 hingga kepulangan peneliti pada tanggal 14 Juni 2014.


BAB III
GAMBARAN UMUM DESA
3.1  LOKASI PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di dusun Pidhek Sonokembang yang merupakan salah satu dusun dari desa Sepanjang kecamatan Gondanglegi kabupaten Malang. Batas-batas desa Sepanjang berbatasan langsung dengan desa-desa lainnya yaitu :
Batas selatan            : desa Sawahan kecamatan Gondanglegi
Batas timur               : desa Unda’an kecamatan Turen
Batas barat               : desa Rekol kecamatan Gondanlegi
Batas utara               : desa Putat kecamatan Gondanglegi
Sedangkan batas-batas dusun Pidhek Sonokembang berbatasan dengan dengan dusun dan desa lain yaitu :
Batas selatan            : dusun Trimo
Batas barat               : dusun Kasin
Batas timur               : desa Unda’an
Batas utara               : dusun tanggong
 Pidhek Sonokembang merupakan nama yang konon katanya nama yang mengandung doa. Doa yang terdapat di dalam arti namanya adalah agar dusun Pidhek Sonokembang akan terus berkembang menjadi lebih baik, berasal dari kata Pidhek yang diartikan sebagai tanah yang diinjak, dan Sonokembang yang berarti  terus berkembang dari tahun ke tahun dan menjadi semakin baik.
Sama seperti dusun-dusun lain di desa ini, mayoritas penduduk dusun Pidhek Sonokembang juga merupakan petani dan pembuat batu bata merah, ada beberapa pula yang menjadi mantan TKI di luar negeri seperti Singapura, Hongkong, dan Malaysia. Terdapat pula sebuah masjid megah di dusun ini yang masih berada di tahap perenovasian dan sebuah pesantren yang cukup dikenal masyarakatnya yaitu “Yayasan Pondok Pesantren Sirojul Ulum Assarqowi” karena sebagian besar anak-anak kecil di dusun ini belajar mengaji di pesantren yang diasuh oleh pak Obi (sapaan khas pengasuh pondok pesantren).
Gambar 1 : Seorang warga sedang membuat batu bata merah di samping rumahnya.
Gambar 2 : pembangunan masjid yang masih dalam tahap perenovasian.

Masyarakat di dusun ini menggunakan sumur untuk MCK (mandi, cuci, kakus) dan menggunakan pompa air untuk mengalirkan air sumurnya ke kamar mandi dan aliran-aliran lain yang dibutuhkan. Namun ada pula masyarakat yang masih menggunakan media sungai untuk mandi dan mencuci namun tidak untuk dikonsumsi dan diminum, beberapa sumber air juga terdapat di dusun ini dimana air yang mengalir langsung dari tanah ini memang bersih dan bening serta digunakan untuk mandi, mencuci, dan dikonsumsi. Sumber air di dusun ini terdapat di RT:4 dan satu lainnya berada di daerah yang dianggap keramat oleh masyarakatnya yaitu sumber awar-awar dan berada tidak jauh dari sumber air pertama di RT:4. Beberapa warga mengatakan lebih nyaman mandi di sumber daripada di rumah karena airnya yang segar dan dapat bertemu dengan tetangga hingga terjadi sebuah kounikasi keakraban, namun ada beberapa pula warga yang tidak suka karena merasa malu jika mandi bersama-sama di tempat yang terbuka.


Gambar 3 : sumber air yang digunakan oleh warga untuk keperluan sehari-hari.

Area persawahan di desa ini memang sangatlah luas, sebagian besar tanaman yang di tanam adalah tebu, padi, dan beberapa ditanami pohon sengon. Aliran irigasi yang digunakan untuk persawahan adalah aliran air dari sungai yang dipompa dengan pompa khusus untuk mengairi sawah dan air hujan. Pembuatan batu bata merah tidak hannya dilakukan di area rumah saja, ada beberapa tanah di area persawahan juga dijadikan sebagai area pembuatan batu bata merah karena tanahnya yang gambut dan mudah untuk diolah.





BAB IV
ANALISIS DATA

4.1 Perkawinan dan Terbentuknya Sebuah Keluarga
      Perkawinan adalah proses awal pembentukan kelompok rumah tangga, proses penghubungan berbagai kelompok keturunan, dan reproduksi masyarakat baik berlangsung secara biologis maupun secara social.  Menurut Gough perkawinan adalah suatu transaksi yang menghasilkan suatu kontrak dimana seorang (pria atau wanita, korporatif atau individual, atau melalui wakil) memiliki hak secara terus menerus untuk menggauli seorang wanita secara seksual, hak ini mempunyai prioritas atas hak untuk menggaui secara seksual yang sedang dimiliki atau yang  kemudian diperoleh orang lain terhadap wanita tersebut (kecuali yang melalui transaksi semacam), sampai kontrak transaksi itu berakhir dan wanita yang dianggap bersangkutan dianggap memenuhi syarat untuk melahirkan anak[5]. Definisi yang dikemukakan oleh Gough mencangkup perkawinan yang luas, baik itu perkawinan antara pria dan wanita, perkawinan antara pria dan pria, dan perkawinan antara wanita dan wanita. Perluasan analisis Gough ini menghubungkan beberapa variable konvensi budaya dan social dengan pokok-pokok psikologi dan biologi manusia.
      Salah satu tujuan dari perkawinan adalah membentuk sebuah keluarga dimana menurut J.J. Bachofen tentang teori keluarganya, di seluruh dunia keluarga manusia terbentuk dan berkembang melalui empat tingkat evolusi[6]. Tingkat evolusi pertama adalah promiscuitas dalam tingkat evolusi pertama ini manusia hidup berkelompok seperti kawanan binatang yang berkelompok pula dimana ia juga bebas berhubungan seksual secara bebas dengan siapa saja tanpa adannya ikatan. Tingkat evolusi kedua adalah matriacate, Seiring berjalannya waktu, manusia sadar akan hubungan wanita dengan anak yang dilahirkannya, anak-anak ini lebih mempunyai hubungan dekat dengan ibunya namun tidak mengenal ayahnya. Karena ibulah yang paling mempunyai andil dalam anakya inilah kemudian timbullah sebuah keluarga inti dimana ibu yang menjadi kepala keluarga, perkawinan antara ibu dan anak laki-lakipun dihindari dan demikian timbul perkawinan eksogami.[7] Tingkat evolusi ketiga adalah patriacate, ketidakpuasan laki-laki dengan keadaan dimana hanya wanita yang mempunyai hak anaknya menyebabkan para laki-laki inipun mencari pasangan dari kelompok lain lalu dibawa pada kelompoknya sendiri dan hal ini menyebabkan keturunan yang kemudian dilahirkan oleh para wanita yang dibawa oleh para lakki-laki diatas akan tetap berada di pihak ayahnya dan lambat launpun timbullah kelompok-kelompok keluarga yang menjadikan laki-laki (ayahnya) sebagai kepala keluarga. Dalam beberapa sebab dan kemudian berganti menjadi perkawinan endogami[8]. Tingkat terakhir dalam evolusi keluarga adalah susunan kekerabatan parental, dimana ayah dan ibu merupakan dua hal terpenting di dalam keluarga inti bagi keturunan-keturunannya.
     
4.2 Ketentuan Hukum Perkawinan Indonesia
            Masyarakat Indonesia tergolong masyarakat heterogen[9]  dalam segala aspeknya sehingga terdapat banyak perbedaan yang signifikan antara hukum-hukum adatnya begitu pula hukum adat dan tradisis dalam perkawinan. Di Indonesia hukum perkawinan yang otentik telah diatur dalam UU. No. 1 Tahun 1974. Tambahan dan uraian beberapa masalah mendasar diuraikan dalam Lembaran Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 3019. Adanya undang-undang perkawinan nasional ini menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat Indonesia[10].
            Asas-asas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam undang-undang perkawinan ini adalah sebagai berikut :
a.    Tujuan perkawinan adaah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu pasangan suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil
b.    Dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanyadan kepercayaannya dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peaturan perundang-undangan yang berlaku.
c.    Undang-undang ini menganut azas monogami[11]. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari satu orang dan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi dengan berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.
d.    Undang-undang ini menganut prinsip bahwa calon suami isteri harus masak jiwa dan raganya untuk melangsungkan perkawinan dan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian. Untuk itu pula harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami isteri yang masih di bawah umur. Batas-batas umur minimal perkawinan bagi laki-laki ialah 19 tahun dan 16 tahun bagi wanita.
e.    Undang-undang ini juga menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal serta sejahtera. Meskipun kemungkinan perceraian tetap ada, hal ini harus diperkuat dengan alasa-alasan tertentu dan harus dilakukan di depan siding pengadilan.
f.     Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama suami isteri.
Dalam bab 1 pasal 1 undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan tentang pengertian perkawinan. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena berdasarkan pada sila pertama maka, perkawinan mempunyai hubungan yang erat dengan agama/kerohanian. Perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani saja tapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan penting.
Beberapa wanita yang menikah di bawah umur menurut undang-undang yang telah tertera tentulah melanggar peraturan perundang-undangan. Namun, tidak ada sanksi yang jelas dan pasti atas pelanggaran ini. Beberapa diantara para wanita yang menikah muda di desa ini beberapa alasannya dikarenakan hamil di luar pernikahan dan beberapa diantaranya karena ketidakmampuan ekonomi untuk melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya sehingga diputuskan oleh orang tuanya untuk menikahkan anaknya.
“…anak wedhok dek kene iki lek kawin muda biasane karena hamil duluan nduk, ono mane sing karna gak punya duit buat ngelanjutin sekolah. Biasane kalau sudah lulus SMP atau SMA iku kawinnya tapi yo onok sing kawin pas baru lulus SD”.
(…anak perempuan disini yang kawin muda biasanya karena hamil duluan sebelum menikah nak, ada juga karena tidak adanya biaya untuk melanjutkan sekolah. Biasanya kalau sudah lulus SMP atau SMA namun ada pula yang kawin setelah lulus SD)”
            (wawancara mendalam.mak sum.senin 09/06/2014)
4.3 TRADISI PERKAWINAN MASYARAKAT DESA SEPANJANG
      Tradisi adalah adat atau kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang dan masih dilakukan oleh masyarakat pemiliknya hingga saat ini atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan hal yang paling baik dan benar untuk dilakukan. Tradisi merupakan bagian-bagian dari kebudayaan, dalam beberapa tradisi dalam prosesi perkawinan terdapat beberapa ritual yang menyimbolkan hal-hal tertentu. Manusia sebagai homo symbolicum merupakan makhluk yang mempunyai kemampuan untuk meciptakan simbol-simbol yang kemudian menjadi sebuah gambaran dari kebudayaan, karena kebudayaan juga termasuk dari hasil ide, bentuk, dan karya manusia begitu pula dengan tradisi yang mempunyai arti atau simbol.
Berdasarkan wawancara mendalam yang penulis lakukan selama penelitian, telah terangkum pemaparan adat dan tradisi perkawinan pada masyarakat desa Sepanjang dari sebelum acara perkawinan, saat acara, dan sesudah acara. Wawancara mendalam dilakukan penulis bersama beberapa informan yang diantaranya dilakukan bersama dengan ibu Sayuti, Emak, mak Sum, mak Siti, dan ibu Suciati.
Berikut adalah profil singkat informan :
1.    Ibu Sayuti merupakan induk semang penulis selama penelitian yang adalah seorang ibu rumah tangga yang masih berumur sekitar 30 tahunan, ia mempunyai satu orang putri berumur 7,5 tahun, suaminya adalah seorang pegawai Pertamina di pertambangan minyak Pekanbaru Riau.
2.    Emak disini adalah ibu dari induk semang penulis selama penelitian (ibu Sayuti). Emak telah berusia lanjut usia dengan umur sekitar 70 hingga 80 tahun yang mempunyai lima orang anak.
3.    Mak Sum adalah seorang pekerja rumah tangga yang berumur sekitar 50 tahunan mempunyai dua orang anak. Salah satu anaknya adalah seorang duda karena bercerai dengan istrinya yang ia nikahi saat ia berumur masih terlalu muda.
4.    Mak Siti adalah seorang tukang pijat yang juga mempunyai pekerjaan tambahan sebagai pembantu rumah tangga, mak Siti mempunyai tiga anak dan beliau juga merupakan mantan TKI di Malaysia selama satu tahun. 
5.    ibu Suciati, seorang wanita paruh baya berumur sekitar 30 tahunan yang mempunyai sebuah salon dan beliau juga merupakan seorang perias pengantin dan telah menekuni bidang ini selama kurang lebih delapan tahun bersama suaminya. Salon ibu suci berada di dusun Pidhek Sonokembang di RT:8. Dari luar salon sudah terlihat beberapa kebaya pengantin yang ditempatkan di etalase kaca.
Pemilihan-pemilihan informan ini dilakukan oleh peneliti berdasakan beberapa pertimbangan, diantaranya adalah beberapa informan telah melalui tahapan-tahapan perkawinan dan tahu betul bagaimana penggambaran-penggambaran pasti tentang tradisi-tradisi perkawinan yang ada di desa Sepanjang. Beberarapa miitos juga dipaparkan oleh para informan meliputi mitos-mitos tentang perkawinan dan mitos desa yang kemudian berhubungan dengan jodoh.

          
            Gambar 4 : salon ibu Suciati di dusun Pidhek Sonokembang RT: 8

               


              Gambar 5 : wawancara bersama Emak dan mak Sum

Adakah hal yang khusus yang harus dilakukan jika ada seseorang yang melangsungkan perkawinan terlebih dahulu dan melangkahi saudara tertuanya? Jika ada hal seperti itu contohnya seorang wanita yang menikah namun melangkahi saudara tertuanya maka harus ada tradisi si calon pengantin pria harus melamar kakaknya juga, namun melamar kakaknya ini bukan dalam artian melamar untuk dijadikannya istrinya pula, namun melamar disini ialah si pengantin pria harus memberikan seserahan atau bingkisan seperti baju satu setel atau peralatan rias seperti bedak dan yang lainnya kepada kakak yang dilangkahinya.


4.4 PROSESI PERKAWINAN
Dalam sebuah acara pastilah terdapat susunan-susunan acara yang dirancang sehingga acara tersebut dapat berjaan sistematis begitu pula dalam acara perkawinan, dimana sebelum acara , saat acara, dan sesudah acara terdapat prosesi-prosesi yang telah tersusun sebagai barikut.
4.4.1 Pertunangan
Pertunangan merupakan awal dari sebuah perkawinan meski ada beberapa orang yang tidak melewati proses pertunangan terlebih dahulu untuk melakukan sebuah perkawinan.  Pertunangan dilaksanakan dengan orang yang telah dijodohkan untuknya. Namun kebanyakan wanita di desa ini akan menolak jika dijodohkan dan akan lebih memilih pria pilihannya sendiri sebagai calon suami. Hal yang sama juga dituturkan oleh Emak dan mak Sum yang dulunya juga menolak untuk dijodohkan dan memilih menikah dengan pria pilihannya sendiri.
“…yo kebanyakan nggak ghelem lek dijodohin nduk, la wong emak aja cari sendiri kok. Yo onok sing dijodohin tapi harus disyarati biar ghelem”
“(… ya kebanyakan tidak mau dijodohkan nak, emakpun mencari calon suami sendiri, ya memang ada yang dijodohkan tapi harus disyarati agar mau dijodohkan)”
(wawancara mendalam.Emak.11.06.2014)
Setelah lamaran untuk pertunangan selesai hingga si wanita dan si pria resmi bertunangan, mereka hanya membutuhkan waktu 3-4 bulan untuk kemudian melangsungkan perkawinan. Dalam beberapa kasus menurut informan ada pula perjodohan paksaan atau jika sang anak yang dijodohkan tidak mau menerima perjodohan tersebut maka, si orang tua akan memberi “syarat atau yang dalam hal ini berarti si anak akan diberi doa-doa yang bertujuan agar ia luluh hatinya dan mau menerima perjodohan dengan pria pilihan orang tuanya tersebut. Biasanya doa-doa ini istilahnya dimasukkan ke dalam makanan dan minuman sang anak. Tapi, hal ini dapat terjadi dapat pula tidak karena tergantung pada kepercayaan masyarakat masing-masing. Acara pertunangan bisa dilakukan dengan saling tukar cincin dan ada pula yang melakukan pertunangan sekaligus melaksanakan pernikahan sirri.
4.4.2 Pemilihan Bulan Perkawinan
 Dalam memilih tanggal dan bulan untuk acara perkawinan, para masyarakat desa Sepanjang juga mempunyai aturan-aturan tentang bulan-bulan yang baik dan buruk untuk acara perkawinan. Bulan-bulan yang baik untuk diadakannya sebuah acara pernikahan adalah bulan setelah perayaan maulid nabi yaitu pada bulan jumadil awal, jumadil akhir, rajab, dan ruwah[12].  Namun jika ingin melaksanakan upacara perkawinan pada bulan maulid memang tidak dianjurkan tapi diperbolehkan kecuali orang yang akan melaksanakan perkawinan telah melaksanakan perayaan maulid nabi. Sedangkan bulan-bulan yang dilarang untuk diadakannya acara perkawinan adalah bulan puasa, suro, dan saffar.
Dilarangnya acara pernikahan pada bulan puasa dikarenakan bulan ini dianggap bulan yang paling suci oleh umat islam dimana orang-orang muslim wajib berpuasa selama sebulan penuh. Berbeda dengan bulan puasa yang dianggap suci, acara pernikahan dilarang dilaksanakan pada bulan suro dan saffar karena bersangkutan dengan mite[13] Nyi Roro Kidul yang mencari menantu pada bulan-bulan ini. Konon katanya jika ada seseorang yang melaksanakan upacara perkawinan pada buan-bulan ini akan mendapatkan bala’ (hal yang buruk) seperti acara pernikahan yang tidak berjalan dengan lancar, pasangan yang akan cepat bercerai, ketidaklanggengan hubungan antara suami dan istri, hingga kematian cepat yang dialami salah satu pasangannya khususnya si pria yang meninggal karena dibawa oleh Nyi Roro Kidul karena akan dijadikan menantu dan dijodohkan kepada anak-anaknya.
Mite lain yang dikemukakan oleh informan adalah adanya penjaga desa yaitu “danyang wedhok” yang berwujud macan putih betina, dimana karena pengaruh danyang wedhok ini para wanita di desa Sepanjang mudah mendapatkan jodoh hingga banyaknya wanita yang menikah muda di desa inipun dikaitkan dengan adanya mite danyang wedhok dan mite tentang adanya setan yang akan mengganggu calon pasangan pengantin yang akan mengadakan sebuah perkawinan sehingga calon pengantin dilarang meninggalkan rumah dari sejak sebulan sebelum acara perkawinan diselenggarakan hingga acara perkawinan selesai. Menurut William R Bascom mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa dan kejadian ini terjadi terjadi di dunia lain atau di dunia yang yang bukan seperti dunia yang dikenal oleh manusia dan terjadi pada masa lampau[14].
4.4.3 Acara Sebelum Hari H
Setelah waktu pelaksaan ditentukan, acara demi acarapun akan mulai dipersiapkan untuk terselenggaranya sebuah perkawinan. Satu atau dua hari sebelum hari H biasanya diadakan acara pengajian, hataman Al-Quran, dan selametan.  Acara dihadiri oleh sanak famili dan tetangga yang bhiodo. Bhiodo adalah istilah untuk membantu tetangga yang mengadakan hajatan perkawinan, biasanya hal ini dilakukan dengan membantu memasak di dapur atau membantu keperluan-keperuan lain yang berhubungan dengan upacara perkawinan. Pada saat bhiodo, para tetangga dan sanak saudara yang datang akan membawa beberapa kebutuhan pokok seperti beras, gula, dan sebagainya yang kemudian akan dicatat ke dalam buku besar, barang-barang ini disebut “tumpangan”.
Dilanjutkan dengan acara siraman yang dilakukan satu hari sebelum hari H di kediaman pengantin perempuan, pengantin perempuan memakai kemben dan rangkaian melati yang dipakai menutupi dada dan bahu, acara ini bertujuan ntuk menyucikan pengantin perempuan dari pengaruh buruk dan gangguan-gangguan yang akan datang setelah melakukan perkawinan dan membentuk sebuah keluarga.
4.4.4 Acara Perkawinan
Pada pagi hari di hari H akan dilangsungkan akad nikah dimana pengantin pria dan wanita disandingkan di depan penghulu guna melangsungkan akad nikah dengan  didampingi wali dari pihak pengantin wanita dan beberapa saksi. Di dalam akad nikah ini diberikan mahar-mahar bagi pengantin wanita, biasanya mahar berupa uang, emas, dan seperangkat alat ibadah atau barang yang dianggap berharga lainnya.
Pada sore harinya akan diadakan sebuah resepsi pernikahan dimana tradisi dari awal acara adalah temu manten di pintu gerbang masuk tempat acara, pengantin pria dan wanita akan dipertemukan  lalu saling menaburkan beras kuning (tradisi nyawur) dimana beras ditaburkan oleh pengantin kepada pasangannya. Taburan beras ini dilakukan dengan system siapa cepat karena arti dari tabur beras kuning ini adalah penampilan dari setiap pasangannya atau penampilan siapakah yang akan terlihat lebih tua jika terkena taburan beras lebih dahulu, contohnya saat acara melempar beras, pengantin laki-laki lebih dulu melempar beras mengenai pengantin wanita maka seiring waktu penampilan si wanita yang telah menjadi istri ini akan terlihat lebih tua daripada si laki-laki yang telah menjadi suaminya bagitu juga sebaliknya jika pengantin pria yang terkena lemparan beras kuning terlebih dahulu. Dilanjutkan dengan upacara injak telur oleh pengantin pria dan kaki pengantin pria kemudian dibasuh oleh pengantin wanita yang menandakan seorang istri harus patuh pada suami karena setelah menjadi seorang istri, surga seorang istri adalah di bawah telapak kaki suami.
Acara selanjutnya adalah kedua pengantin diarak oleh orang tua menuju pelaminan dengan menggendong kedua pengantin menggunakan selendang panjang, gendong ini dalam artian bukan digendong dipungggung melainkan hanya menyelendangi keduanya lalu ujung-ujung dari selendang ditarik oleh orang tua untuk digiring berjalan menuju pelaminan. Orang tua yang menggendong biasanya adalah orang tua laki-laki dari pihak pengantin perempuan karena kebanyakan pihak pengantin laki-laki lah yang mendatangi rumah pihak perempuan. Hal ini menandakan tugas orang tua yang telah selesai dalam mendidik anaknya hingga bisa membangun rumah tangga sendiri.
Sampai di pelaminan, pengantin akan melangsungkan acara sungkeman kepada orang tua dengan artian meminta doa dan restu dari orang tua atas pernikahan dan hidup baru yang akan dijalani,acara sungkeman juga diartikan sebagai permohonan maaf dan rasa terimakasih sang anak atas kasih sayang dan pendidikan orang tua kepadanya sejak lahir hingga dapat menikah dan sanggup membangun keluarga sendiri.
 Setelah acara sungkeman selesai, acara dilanjutkan dengan rebutan uang logam di dalam wadah berisi uang logam dan beras kuning. Uang receh yang didapat oleh pengantin saat saling berebutan ini menandakan rejeki yang akan didapat saat membangun keluarga nantinya. Jika pengantin pria yang mendapatkan nominal uang paling banyak maka si pria sebagai suami rejekinya akan lebih banyak daripada rejeki si wanita sebagai istri, begitu juga sebaliknya jika si wanita sebagai istri mendapatkan nominal uang paling banyak maka rejeki yang didapat oleh si istri akan lebih banyak daripada si suami.  Menurut ibu suci acara rebutan uang logam dinamakan “bhubha’an” yang hanya dilakukan oleh anak pertama. Namun bhuba’an juga bisa dilakukan oleh anak ketiga (ragil) yang menikah dengan anak pertama dari keluarga yang berbeda. Contohnya pengantin perempuan adalah anak ketiga di keluarganya tapi pengantin pria merupakan anak pertama dari saudara-saudaranya maka bhuba’an dapat dilakukan. Setelah itu barulah acara foto-foto bersama sanak saudara dan para undangan. Pada saat hari H inilah para tetangga membawa uang yang diamplopkan dan dianggap sebagai sumbangan untuk pengantin baru, hal ini diistilahkan sebagai “bhowo”.
4.5 TRADISI SELAPANAN
Tradisi selapanan adalah tradisi pelarangan pertemuan orang tua dengan anaknya setelah acara perkawinan. Tradisi ini diwariskan secara turun temurun pada masyarakat desa Sepanjang sejak dahulu kala dan telah menjadi kebudayaan yang melekat dan serta menjadi folklore mereka yang mempunyai kesamaan dengan tradisi masyarakat lain yang juga mempunyai tradisi melarang pertemuan besan namun tradisi selapanan mempunyai versinya sendiri. Folklore adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun diantara kolektif macam apa saja, Secara tradisional dalam versi yang berbeda baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonie device)[15].
Umumnya acara pernikahan diadakan dengan kehadiran dari orang tua kedua belah pihak (orang tua pengantin perempuan dan orang tua pengantin laki-laki) atau yang biasanya disebut dengan “besan”. Namun berbeda dengan tradisi pada masyarakat desa Sepanjang dimana Pihak besan dilarang mengunjungi anaknya selama 36 (tiga puluh enam) hari sejak diadakannya acara perkawinan, jikakalaupun ada tradisi yang juga melarang pihak besan bertemu dengan anaknya pada saat acara perkawinan, namun hal itu tidak dibataskan pada 36 (tiga puluh enam) hari, melainkan hanya beberapa hari saja semenjak acara perkawinan. Contohnya adalah jika acara perkawinan dilakukan oleh pihak pengantin laki-laki maka orang tua dari pihak perempuan dilarang datang ke acara pernikahan ini dan orang tua dari pihak perempuan baru boleh menemui anaknya setelah tiga puluh enam hari setelah acara pernikahan begitu pula sebaliknya jika acara dilaksanakan oleh pihak dari pengantin perempuan maka orang tua dari pihak laki-laki tidak boleh hadir pada saat acara pernikahan dan boleh menemui anaknya setelah lewat tiga puluh enam hari sejak acara pernikahan berlangsung. Tradisi inilah yang kemudian disebut tradisi “selapanan” namun jika acara dilaksanakan di gedung misalnya yang acaranya merupakan hasil dari pengumpulan dana dari dua keluarga maka kedua besan boleh ikut dalam satu acara.
Tradisi ini dimungkinkan ada karena kedudukan besan yang mampu mengadakan acara perkawinan untuk anaknya akan lebih disegani daripada besan yang tidak melangsungkan acara. Mampu dalam hal ini sebenarnya memang bukan karena adanya ketidakmampuan ekonomi dari pihak besan itu sendiri melainkan karena adanya kesepakatan sebelumnya diantara besan manakah yang akan mengadakan acara. Misalnya hasil dari kesepakatan antara besan adalah orang tua pengantin laki-laki yang akan mengadakan acara, maka orang tua dari pihak perempuanlah yang akan menjalani tradisi selapanan begitu pula sebaliknya. karena hanya hanya salah satu pihak orang tua pengantin saja yang boleh hadir dalam acara perkawinan maka pada acara sungkeman  hanya diperuntukkan bagi orang tua pengantin yang mengadakan acara perkawinan saja karena pihak besan dilarang datang ke acara pernikahan. Pihak besan boleh menemui anak mereka setelah 36 hari sejak acara pernikahan dilaksanakan. Setelah 36 hari menjalani tradisi “selapanan”  dimana pihak besan tidak boleh menemui anaknya, akan ada tradisi “ketemuan besan” yang dinamakan “pethu’an”. Pada hari inilah pihak besan dari dua keluarga saling bertemu dan pihak besan yang menjalani selapanan bisa bertemu dengan anaknya kembali.
4.6  POLA TEMPAT TINGGAL
Pola tempat tinggal setelah pernikahan biasanya ditentukan dengan persetujuan keduanya. Dan tergantung keputusan pasangan pengantin, bisa tinggal di rumah orang tua laki-laki atau juga bisa tinggal di rumah orang tua si perempuan. Jika suatu saat mereka membangun rumah sendiri, kebanyakan akan membangun rumah tidak jauh dari orang tua mereka, contohnya saat menikah ibu Sayuti dan suaminya tinggal di rumah emak yang merupakan orang tua ibu Sayuti, namun beberapa tahun setelah itu ibu Sayuti sanggup membangun rumah sendiri bersama suaminya yang terletak hanya dua puluh meter dari rumah emak. Ada pula pola tempat tinggal dimana dalam satu halaman terdapat lebih dari satu rumah yang berdempetan. Biasanya rumah yang saling berdempetan ini dihuni oleh keluarga yang berasal dari satu garis keturunan yang sama. Dalam tradisi orang Madura, hal ini dinamakan “tanian lanjeng” yang artinya halaman yang panjang. Ada pula beberapa pola rumah yang sama seperti “tanian lanjeng”  di Madura ini di desa Sepanjang namun hanya beberapa saja karena beberapa rumah keluarga dengan satu keturunan memang terletak berdekatan namun dibatasi oleh pagar atau tanaman.  


.


BAB V
KESIMPULAN
Kebudayaan berasal dari kata cultuur (bahasa Belanda), culture (bahasa inggris), colore (bahasa latin), yang berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan, dan mengembangkan, arti dari kata-kata ini kemudian dikembangkan menjadi arti yang lebih luas yaitu “segala daya dan aktifitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam”. Menurut Edward B. Taylor, Kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.   Kebudayaan yang ada merupakan hasil pemikiran manusia dan dibuat oleh manusia sebagagai homo sapiens (makhluk yang bijak karena berpikir).
 Manusia ini hidup berkelompok-kelompok membentuk sebuah masyarakat yang terdiri atas kelompok manusia pemilik kebudayaan yang telah diciptakannya. Menurut Maclver dan Page masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan penggolongan dan pengawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan manusia.[16] Dari kebudayaan yang diciptakan oleh manusia inilah kemudian berlaku sebuah tradisi-tradisi yang ada di dalam masyarakat. Tradisi suatu daerah memang selalu terdapat perbedaan karena manusia pembuat kebudayaannyapun berbeda. Tradisi-tradisi ini diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang  dan masih terus dilaksanaakan hingga saat ini karena dianggap sesuatu yang paling benar untuk dilakukan. Salah satu tradisi yang tercipta adalah tradisi perkawinan manusia seperi tradisi selapanan.
Perkawinan merupakan hal yang sakral[17] dan telah diatur dalam perundang-undangan nasional Indonesia yang aturan-aturannya harus ditaati dan dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia. Berbagai macam tradisi perkawinan juga merupakan sebuah wujud dari kebudayaan yang diciptakan masyarakat dari hasil pemikirannya seperti contohnya adalah tradisi selapanan. Salah satu tujuan dari perkawinan adalah membentuk keluarga baru dan melanjutkan keturunan. Perbedaan tradisi perkawinan yang ada pada masyarakat desa Sepanjang merupakan salah bentuk dari keanekaragaman kebudayaan yang telah diciptakan oleh manusia.
Kehidupan yang dijalani setelah perkawinan adalah gerbang baru yang akan dimulai bersama seorang pasangan yang telah dipilih menjadi bagian dari kehidupan orang tersebut dan kehidupan menuju kematangan secara psikologis. Ada atau tidaknya perselisihan dalam rumah tangga yang telah dibangun dengan sebuah ikatan perkawinan sehingga terjadi sebuah perceraian diantara keduanya merupakan hal yang dianggap wajar dalam masyarakat karena siklus hidup manusia yang selalu berubah. Seyogiyanya pasangan yang telah menikah harus dapat berberkomunikasi dengan baik agar terhindar dari sebuah perceraian.




DAFTAR PUSTAKA

·      KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
·      Ihromi.TO.1986.Pokok-Pokok Antropologi Budaya.Jakarta:PT Gramedia.
·      Artikel yang ditulis oleh Professor Dr. Andreas Budihardjo “SOME IMPORTANT NOTES ON QUALITATIVE RESEARCH” Agustus , 2013.
·      Keesing.M Roger.1981.CULTURAL ANTHROPOLOGY A Contemporary perspective, Second Edition.Australia:CBS College publishing.
·      Koentjaraningrat.2009.Sejarah Teori Antropologi Klasik I.Jakarta:UI Press.
·      Sudarsono.1991. Hukum Perkawinan Nasional.Jakarta:PT RINEKA CIPTA.
·      Danandjaja.James.2002.FOLKLORE INDONESIA iIlmu gosip, Dongeng, dan Lain-lain.Jakarta: PT Temprint.
·      Haryanto.Dany dan Nugrohadi.G.Edwi.2011. Pengantar Sosiologi Dasar.Jakarta:PT Pustakaraya.





[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia
[2] Ihromi.TO.1986:XV
[3] Rossman dan Rallis (2003) dalam artikel yang ditulis oleh Professor Dr. Andreas Budihardjo “SOME IMPORTANT NOTES ON QUALITATIVE RESEARCH” Agustus , 2013.
[4] Denzin dan Lincoln (1994) dalam artikel yang ditulis oleh Professor Dr. Andreas Budihardjo “SOME IMPORTANT NOTES ON QUALITATIVE RESEARCH” Agustus , 2013.


[5] Keesing.M Roger.1981:06.
[6] Koentjaraningrat.2009:38.
[7] Eksogami : Prinsip perkawinan yang mengharuskan orang tersebut mencari jodoh atau pasangan di luar lingkungan sosialnya, seperti di uar lingkungan kerabat, golongan sosial, dan lingkungan pemukiman. (KBBI)
[8] Endogami: Prinsip perkawinan yang mengharuskan orang tersebut mencari jodoh atau pasangannya di dalam lingkungan sosialnya sendiri misalnya di lingkungan kerabat, lingkungan kelas sosial, atau lingkungan pemukiman. (KBBI)
[9] Heterogen : Terdiri atas berbagai unsur yang berbeda sifat atau berlainan jenis; beraneka ragam. (KBBI)
[10] Sudarsono.1991:6-9.
[11] Azas monogami dapat ditemukan di dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 tambahan lembaran Negara republik Indonesia nomor:3019.
[12] Bulan-bulan dalam penanggalan jawa
[13] Cerita yang mempunyai latar belakang sejarah, dipercayai oleh masyarakat sebagai cerita yang benar-benar terjadi, dianggap suci, banyak mengandung hal-hal yang ghaib, dan umumnya ditokohi oleh dewa. (KBBI)
[14] Danandjaja.James.2002:50
[15] Danandjaja.James.2002:1-2.
[16] Haryanto.Dany dan Nugrohadi.G.Edwi.2011:12
[17] Suci atau keramat (KBBI)