“Review” SALAH SATU TULISAN DALAM BUKU PERMAINAN TAFSIR
(POLITIK
MAKNA DI JALAN PADA PENGHUJUNG ORDE BARU)
SIASAT
DAN KUASA DI JALAN RAYA
Karangan Gunawan
Jalan raya menjadi
identitas kualitas sebuah kota karena jika jalan rayanya baik maka kota itu
baik maka kota tersebut akan dianggap berkualitas sehingga alat transportasi
dapat berjalan lancar tanpa hambatan. Keberadaan jalan raya menjadi tolak ukur
maju atau tidaknya sebuah kota, bisa dibayangkan jika sebuah kota tidak
mempunyai jalan dengan kualitas baik misalnya banyaknya jalan berlubang yang
mengakibatkan banyak kecelakaan apakah bisa disebut dengan kota yang maju?
Tentu tidak bukan. Dahulu jalan raya yang awalnya hanya menjadi penghubung
antara daerah satu dengan yang lainnya maka tidak dengan hari ini dimana jalan
raya menjadi kompleks dengan menjadi tempat mencari uang dan bertahan hidup
bagi mereka yang terpinggirkan karena lahan-lahan kehidupan yang semakin sempit
serta bertambahnya para pekerja dan buruh dari luar daerah.
***
Jalan raya menjadi tempat untuk berinteraksi dengan banyak
orang seperti pengemis, pengamen, polisi, pengendara motor dan mobil, pedagang
asongan dan banyak lagi yang lainnya. Interaksi ini menggunakan bahasa yang
bergam, mulai dari bahasa para kernet bis dengan kernet lainnya, bahasa
pedagang asongan dengan rekannya, sampai bahasa para banci pinggir jalan dengan
banci lainnya.
Bahasa yang digunakan di jalan raya dpat dibedakan menjadi
dua. Pertama, bentuk aturan tertulis yang berwujud rambu-rambu lalu lintas, traffict
light, marka jalan dan sebagainya. Bahasa ini mempunyai kekuatan yang cukup
untuk memaksa pemakai jalan tunduk mematuhinya karena akan ada denda-denda yang
diperuntukkan bagi orang-orang yang melanggar rambu-rambu ini seperti
penilangan misalnya. Bahasa yang kedua
adalah bahasa gerak tubuh seperti lambaian tangan dan gerakan kepala contohnya
polisi lalu lintas yang mengatur jalan di perempatan kota yang macet. Bahasa
ini bersifat terbuka dan bermakna bebas berdasarkan interaksi tertentu. Aturan lalu lintas dibuat untuk menertibkan
suasana jalan raya yang semrawut dan untuk mengurangi tingkat kecelakaan di
jalan raya. Saya setuju dengan argumen penulis bahwa orang-orang kebanyakan
mematuhi aturan lalu lintas bukan karena khawatir akan keselamatan mereka atau takut
akan kesemrawutan jalan raya yang diakibatkan oleh terganggunya sistem
perlalulintasan terganggu tapi lebih kepada rasa takut mereka kepada polisi dan
ketidakinginan mereka untuk didenda atas pelanggaran rambu-rambu lalu lintas
tersebut.
Denda ini biasanya berupa teguran, penilangan, membayar
denda di bank atau “dititipkan”, hingga berurusan ke pengadilan namun hampir
seluruh masyarakat memilih jalan membayar uang denda meskipun kadang nominalnya
tidak sesuai dengan daftar denda karena mereka memilih jalan yang tidak ruwet
dan lebih cepat sehingga surat ijin mengemudi (SIM) yang disita segera
dikembalikan dan si pelanggar tidak perlu diberi surat pelanggaran apapun.
Besarnya denda yang dibayarkan menjadi alat pemaksa bagi para pengguna jalan
agar undang undang lalulintas No. 14 Tahun 1992 dipatuhi. Penulis berargumen
bahwa kedisiplinan dan ketertiban di jalan raya menjadi sebuah dongeng yang dijadikan legitimasi pemerintah untuk
dapat menarik uang dari pengguna jalan lewat denda yang diberlakukan. Mekanisme
operasi lalu lintas yang diberlakukan sebenarnya menunjukkan bahwa rapuhnya
ketertiban di jalan dilandasi oleh ketakutan untuk terlibat dalam pertukaran
uang.
Kesemrawutan dan ketidaknyamanan jalan raya yang terjadi sebenarnya juga disebabkan oleh
pengguna jalan itu sendiri yang saling berebut kepentingan masing-masing
individu. Pengendara sepeda motor dan mobil saling berebut jalan karena
terburu-buru, sopir angkot berhenti berlama-lama di sudut jalan tertentu
menunggu penumpang sampai angkotnya setidaknya terisi setengahnya, pedagang
asongan berlalu lalang mencari pembeli, dan warung-warung pinggir jalan yang
menambah semrawutnya jalan raya.
Ruas-ruas jalan tertentu bahkan menjadi lahan-lahan
kekuasaan seseorang untuk mencari keuntungan seperti tukang parkir yang
menguasai sebuah lahan seperti pusat pertokoan dan taman-taman kota, para jukir
(juru parkir) ini saling berebut agar orang-orang memarkirkan kendaraan di
lahan kekuasaannya. Hal ini terjadi karena ada sebuah anggapan bahwa jalan raya
merupakan ruang publik yang tak bertuan sehingga siapa saja boleh
memanfaatkannya sehingga yang terjadi malah saling berebutnya orang-orang akan
sebuah lahan usaha bahkan hingga adanya usaha tipu menipu hingga adu kekuatan.
Dalam tulisannya penulis menyebutkan ada sebuah
kesemrawutan yang enak dipandang dimana saat ada konvoi partai pada tahun 1997 contohnya
dimana konvoi ini mengundang banyak mata untuk tertarik menontonnya, hingar
bingar kendaraan berknalpot bersuara keras dan pakaian serta atribut yang mencolok menyimbolkan partai yang
diikuti dan dengan mengikuti konvoi ini para pengendara bisa bebas melakukan
hal yang pada hari-hari biasanya tidak dapat dilakukan seperti menggunakan
sepeda motor yang dimodifikasi knalpotnya, tidak menggunakan helm, hingga
menerobos lampu lalu lintas. Penulis berargumen bahwa kesemrawutan yang terjadi
meskipun menjadi terhambatnya lalu lintas namun pada sisi lain merupakan
hiburan yang enak untuk ditonton dan menjadikan konvoi ini sebagai ajang
kreativitas pesertanya dengan menghilangkan kejenuhan sehari-hari sehingga
kesemrawutan seperti ini bukanlah hal yang perlu diperdulikan sehingga
kepatuhan tidak menjadi ukuran. Namun bagi saya hal seperti itu bukanlah
sesuatu yang enak dilihat karena konvoi seperti itu akan mengganggu pengguna
jalan lain yang terburu-buru dan mengganggu ketenangan karena kebisingannya,
hal ini pernah saya rasakan ketika ada konvoi silaturrahmi para pendukung AREMA
CRONOUS (kesebelasan sepak bola Malang) yang menurut saya sangat mengganggu
ketertiban jalan raya, membuat kemacetan sehingga untuk melajukan sepeda motor
saja seperti mengendarai siput, terompet-terompet yang memekakkan telinga,
musik-musik yang berdentuman sepanjang jalan dan kibaran-kibaran bendera
bergambar singa menghalangi pandangan. Saat konvoi ini terjadi terlihat banyak
orang yang mengikutinya dengan mengenakan beragam atribut AREMA sambil
bersorak-sorak dengan mengendarai sepeda motor membonceng satu hingga dua orang
dan tidak menggunakan helm, mobil bak terbuka dengan sound system besar
di dalamnya dan di atas sound tersebut berdiri beberapa pria dan wanita
berpakaian minim mengenakan kacamata, hingga truk besar pengangkut pasir berisi
banyak orang yang juga bersorak-sorak menyanyikan mars AREMA sambil membunyikan
terompet kecil berwarna merah namun bersuara sangat keras. Konvoi ini mungkin memang menjadi tontonan
menarik namun tetap saja hal ini harus tetap diperdulikan karena konvoi tidak
hanya bisa mengganggu ketertiban umum saja namun juga bisa menyebabkan sebuah
kecelakaan. Polisi dalam keadaan seperti ini seakan kehilangan pengaruhnya,
rambu lalu lintas semakin kehilangan kekuatannya, dan pengguna jalan lain
semakin terhimpit atas sebuah kepentingan kelompok tertentu dan bagi saya hal
ini sama sekali tidak enak dilihat.
Foto ini diambil saat konvoi AREMA pada 11
agustus 2014: terlihat seorang laki-laki yang membonceng dua anak kecil tanpa
pengaman, disampingnya terlihat pemuda-pemuda peserta konvoi yang tidak
menggunakan helm.
Jalan raya tidak
hanya menjadi tempat mencari uang dengan kontak langsung dengan penjual dan
pembeli namun jalan raya juga menjual citra dengan banyaknya reklame-reklame
dan spanduk-spanduk yang bertebaran menawarkan produk-produk, berisi anjuran,
dan publikasi semata. Bentuk visual dari gambar-gambar yang ditampilkan menjadi
salah satu bentuk representasi kapitalisme pemerintah, salah satu contohnya
adalah anjuran keluarga berencana (KB).
Papan-papan reklame atau spanduk-spanduk biasanya
terpampang di tempat strategis dan ramai
dengan gambar-gambar yang mampu menarik mata untuk menoleh dan memperhatikan
meski sejenak sehingga visualisasi dari gambar-gabar tersebut mampu
membuat pikiran manusia memprosesnya
hingga dikuasai dan setiap individu yang melihatna tidak mempunyai kehendak
membentuk citra-citra tertentu. Gambar
dalam spanduk dan reklame tersebut mampu menghadirkan sesuatu yang bahkan tidak
ada di tempat tersebut contohnya saya melihat reklame di pinggir jalan Soekarno
Hatta Malang bertuliskan “Sunrise Bromo” bergambang seorang nenek tua mengenakan
penutup kepala dari kain kaos dan menyampirkan sarung di bahunya dan
dibelakangnya ada gambar gunung bromo yang nyatanya terletak di kabupaten
probolinggo dan bukan di kota Malang.
Jalan kini menjadi semarak dengan beragam fungsinya yang
awalnya hanya sebagai sarana penghubung sebuah daerah, jalan menjadi sebuah
identitas kemapanan sebiah kota, jalan menjadi tempat mencari nafkah, jalan menjadi
tempat memuat banyak visualisasi kehidupan, halan menjadi tempat untuk saling
menggulingkan, jalan menjadi wilayah untuk menunjukkan siapa yang paling kuat
dan siapa yang paling tidak punya kekuatan seakan-akan manusia masuk ke dalam
hutan yang berlaku hukum rimba bahwa siapa yang paling kuat dialah yang mampu
bertahan hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar