Rabu, 26 November 2014

“Review” SALAH SATU TULISAN DALAM BUKU PERMAINAN TAFSIR (POLITIK MAKNA DI JALAN PADA PENGHUJUNG ORDE BARU) SIASAT DAN KUASA DI JALAN RAYA Karangan Gunawan


 “Review”  SALAH SATU TULISAN DALAM BUKU PERMAINAN TAFSIR

(POLITIK MAKNA DI JALAN PADA PENGHUJUNG ORDE BARU)
SIASAT DAN KUASA DI JALAN RAYA

Karangan Gunawan


Jalan raya menjadi identitas kualitas sebuah kota karena jika jalan rayanya baik maka kota itu baik maka kota tersebut akan dianggap berkualitas sehingga alat transportasi dapat berjalan lancar tanpa hambatan. Keberadaan jalan raya menjadi tolak ukur maju atau tidaknya sebuah kota, bisa dibayangkan jika sebuah kota tidak mempunyai jalan dengan kualitas baik misalnya banyaknya jalan berlubang yang mengakibatkan banyak kecelakaan apakah bisa disebut dengan kota yang maju? Tentu tidak bukan. Dahulu jalan raya yang awalnya hanya menjadi penghubung antara daerah satu dengan yang lainnya maka tidak dengan hari ini dimana jalan raya menjadi kompleks dengan menjadi tempat mencari uang dan bertahan hidup bagi mereka yang terpinggirkan karena lahan-lahan kehidupan yang semakin sempit serta bertambahnya para pekerja dan buruh dari luar daerah.
***
Jalan raya menjadi tempat untuk berinteraksi dengan banyak orang seperti pengemis, pengamen, polisi, pengendara motor dan mobil, pedagang asongan dan banyak lagi yang lainnya. Interaksi ini menggunakan bahasa yang bergam, mulai dari bahasa para kernet bis dengan kernet lainnya, bahasa pedagang asongan dengan rekannya, sampai bahasa para banci pinggir jalan dengan banci lainnya.  
Bahasa yang digunakan di jalan raya dpat dibedakan menjadi dua. Pertama, bentuk aturan tertulis yang berwujud rambu-rambu lalu lintas, traffict light, marka jalan dan sebagainya. Bahasa ini mempunyai kekuatan yang cukup untuk memaksa pemakai jalan tunduk mematuhinya karena akan ada denda-denda yang diperuntukkan bagi orang-orang yang melanggar rambu-rambu ini seperti penilangan misalnya.  Bahasa yang kedua adalah bahasa gerak tubuh seperti lambaian tangan dan gerakan kepala contohnya polisi lalu lintas yang mengatur jalan di perempatan kota yang macet. Bahasa ini bersifat terbuka dan bermakna bebas berdasarkan interaksi tertentu.  Aturan lalu lintas dibuat untuk menertibkan suasana jalan raya yang semrawut dan untuk mengurangi tingkat kecelakaan di jalan raya. Saya setuju dengan argumen penulis bahwa orang-orang kebanyakan mematuhi aturan lalu lintas bukan karena khawatir akan keselamatan mereka atau takut akan kesemrawutan jalan raya yang diakibatkan oleh terganggunya sistem perlalulintasan terganggu tapi lebih kepada rasa takut mereka kepada polisi dan ketidakinginan mereka untuk didenda atas pelanggaran rambu-rambu lalu lintas tersebut.
Denda ini biasanya berupa teguran, penilangan, membayar denda di bank atau “dititipkan”, hingga berurusan ke pengadilan namun hampir seluruh masyarakat memilih jalan membayar uang denda meskipun kadang nominalnya tidak sesuai dengan daftar denda karena mereka memilih jalan yang tidak ruwet dan lebih cepat sehingga surat ijin mengemudi (SIM) yang disita segera dikembalikan dan si pelanggar tidak perlu diberi surat pelanggaran apapun. Besarnya denda yang dibayarkan menjadi alat pemaksa bagi para pengguna jalan agar undang undang lalulintas No. 14 Tahun 1992 dipatuhi. Penulis berargumen bahwa kedisiplinan dan ketertiban di jalan raya menjadi sebuah dongeng  yang dijadikan legitimasi pemerintah untuk dapat menarik uang dari pengguna jalan lewat denda yang diberlakukan. Mekanisme operasi lalu lintas yang diberlakukan sebenarnya menunjukkan bahwa rapuhnya ketertiban di jalan dilandasi oleh ketakutan untuk terlibat dalam pertukaran uang.
Kesemrawutan dan ketidaknyamanan jalan raya  yang terjadi sebenarnya juga disebabkan oleh pengguna jalan itu sendiri yang saling berebut kepentingan masing-masing individu. Pengendara sepeda motor dan mobil saling berebut jalan karena terburu-buru, sopir angkot berhenti berlama-lama di sudut jalan tertentu menunggu penumpang sampai angkotnya setidaknya terisi setengahnya, pedagang asongan berlalu lalang mencari pembeli, dan warung-warung pinggir jalan yang menambah semrawutnya jalan raya.
Ruas-ruas jalan tertentu bahkan menjadi lahan-lahan kekuasaan seseorang untuk mencari keuntungan seperti tukang parkir yang menguasai sebuah lahan seperti pusat pertokoan dan taman-taman kota, para jukir (juru parkir) ini saling berebut agar orang-orang memarkirkan kendaraan di lahan kekuasaannya. Hal ini terjadi karena ada sebuah anggapan bahwa jalan raya merupakan ruang publik yang tak bertuan sehingga siapa saja boleh memanfaatkannya sehingga yang terjadi malah saling berebutnya orang-orang akan sebuah lahan usaha bahkan hingga adanya usaha tipu menipu hingga adu kekuatan.
Dalam tulisannya penulis menyebutkan ada sebuah kesemrawutan yang enak dipandang dimana saat ada konvoi partai pada tahun 1997 contohnya dimana konvoi ini mengundang banyak mata untuk tertarik menontonnya, hingar bingar kendaraan berknalpot bersuara keras dan pakaian serta atribut  yang mencolok menyimbolkan partai yang diikuti dan dengan mengikuti konvoi ini para pengendara bisa bebas melakukan hal yang pada hari-hari biasanya tidak dapat dilakukan seperti menggunakan sepeda motor yang dimodifikasi knalpotnya, tidak menggunakan helm, hingga menerobos lampu lalu lintas. Penulis berargumen bahwa kesemrawutan yang terjadi meskipun menjadi terhambatnya lalu lintas namun pada sisi lain merupakan hiburan yang enak untuk ditonton dan menjadikan konvoi ini sebagai ajang kreativitas pesertanya dengan menghilangkan kejenuhan sehari-hari sehingga kesemrawutan seperti ini bukanlah hal yang perlu diperdulikan sehingga kepatuhan tidak menjadi ukuran. Namun bagi saya hal seperti itu bukanlah sesuatu yang enak dilihat karena konvoi seperti itu akan mengganggu pengguna jalan lain yang terburu-buru dan mengganggu ketenangan karena kebisingannya, hal ini pernah saya rasakan ketika ada konvoi silaturrahmi para pendukung AREMA CRONOUS (kesebelasan sepak bola Malang) yang menurut saya sangat mengganggu ketertiban jalan raya, membuat kemacetan sehingga untuk melajukan sepeda motor saja seperti mengendarai siput, terompet-terompet yang memekakkan telinga, musik-musik yang berdentuman sepanjang jalan dan kibaran-kibaran bendera bergambar singa menghalangi pandangan. Saat konvoi ini terjadi terlihat banyak orang yang mengikutinya dengan mengenakan beragam atribut AREMA sambil bersorak-sorak dengan mengendarai sepeda motor membonceng satu hingga dua orang dan tidak menggunakan helm, mobil bak terbuka dengan sound system besar di dalamnya dan di atas sound tersebut berdiri beberapa pria dan wanita berpakaian minim mengenakan kacamata, hingga truk besar pengangkut pasir berisi banyak orang yang juga bersorak-sorak menyanyikan mars AREMA sambil membunyikan terompet kecil berwarna merah namun bersuara sangat keras.  Konvoi ini mungkin memang menjadi tontonan menarik namun tetap saja hal ini harus tetap diperdulikan karena konvoi tidak hanya bisa mengganggu ketertiban umum saja namun juga bisa menyebabkan sebuah kecelakaan. Polisi dalam keadaan seperti ini seakan kehilangan pengaruhnya, rambu lalu lintas semakin kehilangan kekuatannya, dan pengguna jalan lain semakin terhimpit atas sebuah kepentingan kelompok tertentu dan bagi saya hal ini sama sekali tidak enak dilihat.

 Foto ini diambil saat konvoi AREMA pada 11 agustus 2014: terlihat seorang laki-laki yang membonceng dua anak kecil tanpa pengaman, disampingnya terlihat pemuda-pemuda peserta konvoi yang tidak menggunakan helm.











 Jalan raya tidak hanya menjadi tempat mencari uang dengan kontak langsung dengan penjual dan pembeli namun jalan raya juga menjual citra dengan banyaknya reklame-reklame dan spanduk-spanduk yang bertebaran menawarkan produk-produk, berisi anjuran, dan publikasi semata. Bentuk visual dari gambar-gambar yang ditampilkan menjadi salah satu bentuk representasi kapitalisme pemerintah, salah satu contohnya adalah anjuran keluarga berencana (KB).
Papan-papan reklame atau spanduk-spanduk biasanya terpampang di tempat strategis dan  ramai dengan gambar-gambar yang mampu menarik mata untuk menoleh dan memperhatikan meski sejenak sehingga visualisasi dari gambar-gabar tersebut mampu membuat  pikiran manusia memprosesnya hingga dikuasai dan setiap individu yang melihatna tidak mempunyai kehendak membentuk citra-citra tertentu.  Gambar dalam spanduk dan reklame tersebut mampu menghadirkan sesuatu yang bahkan tidak ada di tempat tersebut contohnya saya melihat reklame di pinggir jalan Soekarno Hatta Malang bertuliskan “Sunrise Bromo” bergambang seorang nenek tua mengenakan penutup kepala dari kain kaos dan menyampirkan sarung di bahunya dan dibelakangnya ada gambar gunung bromo yang nyatanya terletak di kabupaten probolinggo dan bukan di kota Malang.

Jalan kini menjadi semarak dengan beragam fungsinya yang awalnya hanya sebagai sarana penghubung sebuah daerah, jalan menjadi sebuah identitas kemapanan sebiah kota, jalan menjadi tempat mencari nafkah, jalan menjadi tempat memuat banyak visualisasi kehidupan, halan menjadi tempat untuk saling menggulingkan, jalan menjadi wilayah untuk menunjukkan siapa yang paling kuat dan siapa yang paling tidak punya kekuatan seakan-akan manusia masuk ke dalam hutan yang berlaku hukum rimba bahwa siapa yang paling kuat dialah yang mampu bertahan hidup. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar